Minggu, 18 November 2012

Perkembangan Ilmu Nahwu Kontemporer

Perkembangan Ilmu Nahwu Kontemporer


Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir semester
mata kuliah Tarikh ‘Ulum Al Arabiyah

Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ahmad Tibb Raya
Wati Susilawati, MA














Disusun oleh:
Ade Wahyu (108012000036)
Agus Syukur (108012000046)


PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Tahun akademik 2011/2012


BAB I
Pendahuluan

Ilmu Nahwu atau biasa disebut nahwu saja, adalah merupakan salah satu cabang pengetahuan tradisional Islam terpenting, khususnya terkait dengan masalah kebahasaan. Pada masa awal kelahirannya, ilmu ini dimaksudkan sebagai panduan dan kaidah bagi bahasa Arab yang benar dan fasih. Tetapi dalam perkembangannya kemudian, ilmu nahwu telah berubah menjadi suatu disiplin yang pelik dan rumit. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang turut mematangkan dan mempengaruhi disiplin ini, terutama pengaruh logika formal, filsafat dan ilmu kalam.
Karenanya, dalam menyusun kaidah-kaidah nahwiyyah pun para ahli nahwu menggunakan metode logika formal dan falsafati yang sarat akan alasan, sylogisme dan terma-terma lain yang diadopsi dari disipilin lain itu. Akibatnya, nahwu telah kehilangan fungsinya sebagai kaidah yang simpel dan membantu para peminat bahasa Arab, dan bahkan ia seringkali dituduh sebagai penghambat mempelajari bahasa Arab.
Corak nahwu yang telah berkembang sedemikian rupa itu pada gilirannya memunculkan sebuah kesadaran baru dari para tokoh nahwu generasi klasik seperti Ibnu Madha’, hingga pada akhirnya para tokoh kontemporer ilmu nahwuseperti As suyuthi, Ibrahim Musthafa, Syauqi Dhoif, dan lain sebagainya untuk membuat rumusan baru atau reformulasi dan mengembalikan tujuan semula ilmu ini dibangun. Untuk itu, dalam memenuhi tugas akhir pada mata kuliah Tarikh al-Ulum al-Lughah,  penulis dalam tulisanmakalah ini dimaksudakan untuk memotret disipilin tersebut sejak masa kelahiran, pertumbuhan dan perkembangannya dan upaya-upaya pembaharuannya. Sudah barang tentu, makalah yang bersifat deskriptif-historis ini masih jauh dari yang kami sendiri harapkan.


BAB II
Pembahasan


A.  Pengertian Nahwu dan Sejarah Kemunculannya
Secara bahasa nahwu memiliki arti seperti atau misalnya (Kamus Al Munawwir). Adapun secara istilah, sebagaimana yang dikatakan pengarang kitab al-Fawakih al-Janiyyah, sebuah kitab penjelasan dari kitab Mutammimah (yang merupakan penjelasan dari kitab Jurmiyyah): Nahwu adalah ilmu tentang pokok, yang bisa diketahui dengannya tentang harkat (baris) akhir dari suatu kalimat baik secara i'rab atau mabni[1].

Dan istilah lain yaitu :
علم بأصول تُعرف بها أحوال الكلمات العربية من حيث الإعرابُ والبناء. أي من حيث ما يعرض لها في حال تركيبها.
(Artinya: ilmu tentang pokok-pokok yang denganya dapat diketahui hal ihwal kata-kata bahasa Arab dari segi i’rab dan bina’nya, yaitu dari sisi apa yang dihadapinya dalam keadaan kata-kata itu disusun)[2].

Di dalamnya kita mengetahui apa yang wajib terjadi dari harakat akhir dari suatu kata, dari rafa’ atau nasab, atau jar atau jazem, atau tetap saja pada suatu keadaan setelah kata tersebut tersusun di dalam satu kalimat.
Dalam mengetahui ilmu nahwu adalah satu kepastian bagi setiap orang yang ingin betul dalam menulis, berpidato dan mempelajari sejarah kesusasteraan.
Nahwu pertama kali digagas oleh Imam Ali bin Abi Thalib untuk memudahkan bagi orang Arab maupun non Arab untuk belajar bahasa Arab. Kemudian gagasan ini dikembangkan oleh Abul Aswad ad Duwali (w. 69 H). selanjutnya dimulai penyusunan pokok-pokok nahwu yang dipelopori oleh Abd al Rohman bin Harmez dan Nasr bin Hasyim. Keduanya murid dari Abu al Aswad ad Duwali.
 Pada abad ke- 2 Hijriyah nahwu dikembangkan oleh Al Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w.175 H)  dengan mematangkan teori  nahwu yang disusun   Sibawaih (w.180 H) yang nota bene sebagai murid Al Khalil sendiri. Langkah tersebut diikuti oleh Al-Akhfash al-Ausath (w.211 H) dan Al- Mubarrid ( w. 286 H) dan ulama-ulama lain yang berkembang di negara Bashrah yang digolongkan menjadi al-Nuhat al-Bashariyun. Kemudian lahirlah kitab-kitab nahwu sebagai karya-karya monumental seperti Alfiyah Ibnu Malik, Alfiyah Al Suyuthi dan Alfiyah Ibnu Mu’thi.
Nahwu juga mengalami perkembangan dan kejayaan di daerah Kufah diantara ulama-ulama yang mengembangkannya adalah Al-Kisai ( w.189 H), Al-Farra’ (w.208 H) Tsa’lab (w. 291 H) dll yang selanjutnya dikenal sebgai al –nuhat al-Kufiyun.
Pasca perkembangan  di  Bashrah dan Kuffah sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Madaris al-Nahwiyah nahwu mengalami kemajuan di Bagdad, Andalus dan Mesir. Pereode ini nahwu sudah mengalami efesiensi dan reformulasi seperti yang disusun oleh Ibn Jinny ( w. 392 H) di Bagdad, Ibn Madha Al-Qurtuby ( w. 592 H) di Andalus, Al-Sayuthi  (911 H) di Mesir.[3]
B. Upaya Pembaharuan Ilmu Nahwu
Banyak buku baik pada masa abad pertengahan maupun saat ini yang sengaja ditulis sebagai kritik atau paling tidak untuk menunjukkan rasa prihatin atas terlalu luasnya pembicaraan tentang “Ilmu Nahwu”, betapa cabang pengetahuan ini telah menjadi pengetahuan yang tidak saja berbicara pada tataran teoretis yang simpel dalam kerangka memenuhi tuntutan pembelajaran bahasa Arab atau memahami teks-teks berbahasa Arab, tetapi telah melibatkan teori-teori yang bersifat logik-spekulatif.
Ada banyak ragam buku yang ditulis para ulama’ dari mulai buku yang bersifat “ikhtishar” (intisari) sampai yang berbau kritik pedas. Termasuk dalam kategori buku klasik yang bersifat intisari ini antara lain “Mukhtashar Mûjaz fi al-Nahwi”, karya Ibnu Kaisan (w.299 H), juga dengan judul hampir serupa buku-buku yang ditulis oleh para ahli nahwu yang hidup semasa dengan Ibnu Kaisan seperti Ibnu Syuqair dan Nafthawaih (w. 323 H).[4] Tetapi dari berbagai kitab mukhtashar tersebut yang paling mendapat respon luas adalah buku yang ditulis oleh al-Zujâji (w.337 H) berjudul “al-Jumal fi al-Nahwi” yang kemudian dijadikan buku standar pengajaran bagi para pemula pelajar bahasa Arab di berbagai wilayah Arab seperti Syam, Yaman, Mesir, Magribi dan Andalusia.
Kemudian beberapa abad kemudian seorang ahli nahwu dari Magribi bernama Ibnu Ajurum (w.723 H) menulis mukhtashar yang sangat terkenal yang ia beri judul “al-Muqaddimah al-Ajurumiyyah fi Mabâdi’ ‘ilm al-‘Arabiyyah”. Buku yang tebalnya hanya kurang dari duapuluh halaman ini mendapat sambutan sangat luas melebihi buku-buku lain serupa. Buku tersebut tidak saja menjadi buku ajar ilmu nahwu di negeri-negeri Arab, tetapi juga digunakan pula di negeri-negeri luar Arab.
Di Indonesia sendiri, terutama di pondok-pondok pesantren salaf (tradisional) hingga hari ini banyak yang masih menggunakan kitab tersebut sebagai buku wajib dalam pengajaran bidang nahwu. Sedangkan buku yang ditulis dengan maksud sebagai kritik dan penolakan atas berbagai prinsip nahwu, terutama konsep “Amil” diantranya adalah buku nahwu yang berjudul “Kitâb al-Radd ‘Ala al-Nuhât” karya Ibnu Madha’ al-Qurthubi (w. 592 H), representasi karya klasik, dan buku “Ihyâ’ al-Nahwi”, karya Ibrahim Musthafa yang terbit pertamakali pada tahun 1937, representasi kontemporer. Jika diperhatikan isi dari buku-buku di atas, sebenarnya dapat disimpulkan bahwa sebenarnya merupakan upaya penyederhanaan , pengefektifan dan penataan ulang bab-bab dalam ilmu nahwu agar menjadi sistematis, di samping juga memang ada beberapa buku yang secara terus terang menolak beberapa teori nahwu yang dianggap tidak signifikan seperti karya Ibnu Madha’ dan Ibrahim Musthafa di atas. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, beberapa contoh pembaharuan nahwu ini dapat dijelaskan sebagai berikut, tentu tidak akan mengupas seluruh buku-buku yang ada tetapi hanya akan dibatasi pada dua buah buku saja yaitu karya Ibnu Madha, dan Ibrahim Musthafa karena kedua buku tersebut dianggap cukup representatif baik dari segi priodenya (klasik dan modern) juga cakupanya.

C. Tokoh-Tokoh dan Pemikirannya
1.   Ibnu Madha’ (Tokoh Klasik)
Nama lengkap Ibnu Madha’ adalah Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Saad bin Harits bin Ashim Ibnu Madha’ al-Lakhmi.[5] Ia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Madha’, di samping sebutan Abu al-Abbas, Abu Ja’far dan atau Abu Qasim.[6] Ibnu Madha’ tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga terhormat dan mampu. Ia dilahirkan di Cordova, tepatnya pada tahun 513 H,[7] dan meninggal dunia di Seville pada 17 Jumadil Ula 592 H. Tetapi, dalam riwayat lain disebutkan meninggal pada 12 Jumadil Akhir.[8]

Karya dan Pemikiran Ibnu madha’
Dalam literatur-literatur sejarah disebutkan, bahwa Ibnu Madha’ memiliki beberapa buku. Yang paling terkenal adalah buku ar-Radd ala an-Nuhat wa al-Masyriq fi an-Nahwi, Tanzih al-Qur’an amma la Yaliqu bi al-Bayan dan al-Masyriq fi al-manthiq.
Buku pertama berisi tentang pilar-pilar dasar yang membangun ilmu nahwu atau yang lebih dikenal dengan uhsul an-nahwi, termasuk juga mendiskusikan metode berpikir yang digunakan. Buku ini pertama kali ditemukan dalam bentuk manuskrip di Perpustakaan Taimur nomor 375, yang kemudian diedit oleh Dr. Syauqi Dhoif. Sekarang, karya Ibnu Madha’ yang satu ini telah dipublikasikan dan dapat dibaca secara luas.[9]
Buku kedua tidak diketahui isinya secara pasti. Bisa jadi, ia berisi tentang fiqh atau mengenai ilmu bahasa Arab. Hal ini karena buku tersebut tidak sampai ke tangan generasi setelah Ibnu Madha’. Jika melihat judul bukunya, penulis menduga buku tersebut berisi seputar pemahaman Ibnu Madha’ mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang terkait istidlal dan istimbath hukum-hukum. Ia dapat dipastikan, melalui buku ini, menepis model pemahaman dan pemaknaan terhadap ayat yang semestinya tidak perlu atau bahkan tidak ada dalam teks (nash) secara lahiriyah. Hal ini karena Ibnu Madha’ menganut mazhab Zhahiriyah yang hanya mengakui makna luar teks.
Sementara itu, buku ketiga diduga oleh para ilmuwan muslim, seperti Suyuthi dan Ibnu Farhun, sebagai kelanjutan buku al-Radd ala al-Nuhat wa al-Masyriq fi al-Nahwi. Yaitu, berisi tentang bantahan Ibnu Madha’ terhadap teori-teori para ahli nahwu di wilayah Islam wilayah Timur. Buku ketiga ini -dalam beberapa literatur sejarah- juga disebut dengan al-Masyriq fi Ishlah al-Manthiq. Buku ini tidak pernah sampai ke tangan kita sebagaimana buku ketiga.[10]
Ibnu Madha’ adalah salah seorang ahli nahwu klasik yang dengan keras melakukan kritik para ahli nahwu lain, khususnya atas berbagai unsur atau prinsip nahwu yang dianggapnya tidak ada arelefansinya dengan tujuan ilmu nahwu. Krititiknya itu ia tuangkan dalam karyanya yang cukup terkenal “Kitab al-Radd ‘Alâ al-Nuhât”. Tujuan dari penulisan buku tersebut dengan jelas dan tegas ia kemukakan sebagai berikut:”yang menjadi tujuan saya dalam kitab ini adalah membuang ilmu nahwu hal (unsur) yang tidak diperlukan oleh ahli nahwu, dan mengingatkan (menunjukkan) kesalahan yang mereka sepakati di dalamnya”.[11]
Dalam pandangan Ibnu Madha, unsur-unsur yang tidak signifikan atau bahkan tidak diperlukan samasekali dalam nahwu adalah “amil, illat qiyas dan taqdir”. Namun dari keempat unsur yang ditolak oleh Ibnu Madha’ itu, masalah unsur amil paling banyak mendapat perhatian para ahli nahwu lain. Hal ini dapat dipahami karena memang unsur amil adalah unsur yang paling dominan dari seluruh komponen atau prinsip nahwu yang berkembang pada masa abad tengah tersebut.
Pada kebanyakan buku nahwu dijelaskan bahwa setiap perubahan bunyi di akhir kata baik rafa’, nashab, jar dan lainnya, ialah disebabkan adanya pengaruh dari amil yang mendahuluinya, baik amil tersebut berupa amil lafdzi (terucapkan) maupun maknawi (tak terucapkan) atau amil muqaddar (tersembunyi). Kalimat “جَاءَ مُحَمَّدٌ”, misalnya, bunyi rafa’ di akhir kata Muhammad tersebut adalah karena adanya pengaruh dari amil lafdzi, yaitu kata “جَاءَ”, atau kalimat “مُحَمَّدٌ جَاءَ”, bunyi rafa’ di akhir kata “مُحَمَّدٌ” itu adalah karena pengaruh amil, yaitu amil al-Ibtida, karena statusnya menjadi mubtada’. Dalam pandangan Ibnu Madha’ konsep tersebut adalah keliru, menurutnya yang menentukan perubahan harakat atau bunyi di akhir kata bukanlah amil, tetapi si pembicara itu sendiri, bukan karena adanya amil. Baginya, tidak ada hubungan pengaruh mempengaruhi atau hubungan apapun antara satu kata dengan kata yang lain dalam bahasa.
Dengan demikian, Ibnu Madha’ telah melakukan satu revolusi besar dalam nahwu dengan menggugat konsep amil yang begitu dominan dalam nahwu baik berbagai macamnya, syarat-syaratnya, segi penempatannya, disebut atau tidaknya amil dan seterusnya yang menurutnya sama sekali tidak berguna. Disamping masalah amil, Ibnu madha’ juga mengkritik konsep ahli nahwu seputar “al-Dhama’ir al-Mustatarah” (kata ganti yang tersembunyi). Ibnu Madha’ memulainya dengan “isim fa’il” seperti dalam kalimat “زيد ضارب عمراً”, menurut kebanyakan ahli nahwu kata “ضارب” di dalamnya terkandung sebuah dhamir yang tersimpan, begitu pula dalam kasus kalimat “زيد قام”, di dalam kata “قام” tersimpan dhamir yang kembali pada kata “زيد”. Dalam pandangan Ibnu madha’ konsep-konsep seperti itu tidak diperlukan sebab tanpa penjelasan-penjelasan seperti itu sebuah kalimat sudah dapat dipahami maknanya.
Demikianlah intisari dari upaya pembaharuan ilmu nahwu secara garis besar yang ditawarkan oleh Ibnu Madaha’al-Qurthubi (dari Cordoba). Yang tentu saja masih ada beberapa bagian yang belum tercover dalam tulisan ini, namun demikian apa yang termuat dalam penjelasan di atas dianggap telah merepresentasikan upaya kritik dan pembaharuan ilmu nahwu yang diinginkan oleh Ibnu Madha. Secara keseluruhan. Bahkan pemikiran dan konsep tentang nahwu yang telah dikembangkan oleh Ibnu madha’ tersebut merupakan awal dari pembaharuan tentang ilmu nahwu yang dikembangkan oleh para tokoh-tokoh kontemporer selanjutnya.

2.      Ibrahim Musthafa.
Jika Ibnu Madha’ merupakan kritikus nahwu abad tengah (klasik), maka Ibrahim Musthafa adalah representasi kritikus dan pembaharu nahwu abad modern yang banyak mengilhami para ahli nahwu lain mengikuti pandangan dan pola berpikirnya. Ibrahim adalah seorang dosen pada fakultas Adab Universitas Fu’ad al-Awal (kini menjadi Universitas Kairo). Pada tahun 1936 ia menyelesaikan karyanya dibidang nahwu yang ia beri judul “Ihyâ’ al-Nahwi” (revitalisasi ilmu nahwu) dan setahun kemudian yaitu pada abulan Juli 1937 diterbitkan oleh lajnat al-ta’lif wa al-tarjamah wa al-nasyr Kairo.
Karya dan pemikiran Ibrahim Musthafa
Jika Ibnu Madha’ merupakan kritikus nahwu abad tengah (klasik), maka Ibrahim Musthafa adalah representasi kritikus dan pembaharu nahwu abad modern yang banyak mengilhami para ahli nahwu lain mengikuti pandangan dan pola berpikirnya. Ibrahim adalah seorang dosen pada fakultas Adab Universitas Fu’ad al-Awal (kini menjadi Universitas Kairo). Pada tahun 1936 ia menyelesaikan karyanya dibidang nahwu yang ia beri judul “Ihyâ’ al-Nahwi” (revitalisasi ilmu nahwu) dan setahun kemudian yaitu pada abulan Juli 1937 diterbitkan oleh lajnat al-ta’lif wa al-tarjamah wa al-nasyr Kairo.
Salah satu karya literaturnya adalah “Ihya’ al-nahwu”. Dalam karyanya tersebut ditulis dengan maksud sebagai kritik dan penolakan atas berbagai prinsip nahwu. Ide pembaharuan Ibrahim Musthafa terhadap nahwu mencakup banyak aspek, diantaranya yang terpenting adalah:
·         Redefinisi Nahwu.
·         Penolakan terhadap amil.
·         Pembagian ulang masalah i’rab.
·          Tanda-tanda i’rab yang bersifat far’iyah.

3.      Syauqi Dhaif
Syauqi Dhoif lahir di Aulad Hamam, Mesir pada 13 Januari 1910, dan wafat pada 14 Maret 2005, pada usia 95 tahun.[12] Dr. Syauqi Dhaif mengawali upayanya dalam pembaharuan nahwu dengan pen-tahqiq-annya terhadap buku karangan Ibnu Madha yaitu ar-Radd ala an-Nuhat wa al-Masyriq fi an-Nahwi, yang telah memberi warna baru dalam khazanah ilmu nahwu. Beliau merekonstruksi kembali pemikiran nahwu yang telah berkembang selama ini yang dianggap menyulitkan pengajaran nahwu dengan perinsip mudah, gampang, ringkas, sederhana, dan mudah dipahami oleh para pelajar bahasa Arab.
Karya dan Pemikiran Syauqi Dhoif
Beliau menuangkan pemikirannya tersebut dalam beberapa bukunya yaitu Tajdid al-Nahwi (1982), Taisiraat Lughawiyah (1990), dan Taisiru al-Nahwi al-Ta’limi Qadiman wa Haditsan ma’a Nahji Tajdidihi (1986). Diantara ketiga buku ini, yang paling masyhur dalam khazanah ilmu nahwu adalah yang pertama yaitu Tajdid al-Nahwi, yang menyajikan konsep-konsep yang sempurna dalam pengajaran nahwu, dan juga memberi warna-warna baru yang disandarkan atas perinsip-perinsip dasar yang bersumber dari buku Ibnu Madha.
Pemikiran Syauqi Dhaif dalam pembaharuan nahwu kurang lebih sama dengan konsep-konsep yang digagas oleh Ibnu Madha, hal ini dibuktikan dengan upaya beliau terhadap pen-tahqiq-an buku al-Radd ala al-Nuhat karangan Ibnu Madha. Beliau juga sependapat tentang pembuangan teori ’amil, membuang ’ilat tsawani dan tsawalits, pembatalan teori qiyas, dan juga meniadakan analisa teori-teori tanpa praktik, seperti i’lal.[13] Hanya saja dalam tahqiq-annya beliau menambahkan pendapat-pendapat yang mengokohkan teori-teori yang ada dalam buku tersebut.
Dalam pen-tahqiq-annya beliau merumuskan bahwa dalam upaya pembaharuan nahwu terdapat enam pokok konsep yang ditawarkan, yang meliputi:
·         Penyusunan kembali bab-bab dalam nahwu yang tumpang tindih, menambahkan, dan mengumpulkan bab-bab yang dianggap sejenis. Seperti contoh Bab كان واخوتها hendaknya dimasukkan pada bab fi’il lazim. Teori merofa’kan isim dan menasobkan khobar diubah dengan isimnya menjadi failnya dan khobarnya menjadi hal saja.
·         Menghapus dua peng-i’rab-an, yaitu taqdiri dan mahalli. Seperti contoh dari I;rab taqdiri adalah جأء الفتى  dibaca rofa’ tanpa harus menyebutkan rofa’ muqoddar yang aslinya dzommah
·         Menghapus i’rab yang tidak efisien untuk kebenaran dalam pengucapan. I’rab yang danggap tidak efisien  tersebut adalah bab ististna’, bab adawat syarat, kam istifhamiyah dan khabariyah, kata لاسيما  danان  yang disukun.
·         Meletakkan pengertian-pengertian dan kaidah-kaidah yang lebih spesifik pada sebagian bab-bab nahwu. Secara garis besar Syauqi Dzaif berpendapat ada tiga definisi topik pembahsan materi nahwu yang perlu diperbaharui, yaitu bab Maf’ul Mutlaq, Maf’ul ma’ah, dan bab hal.
·         Membuang penambahan-penambahan dalam bab nahwu yang tidak penting. Seperti pembuangan kaidah-kaidah isim alat, karena isim alat bersandar pada sima’i, dan tidak membuthkan kaidah.
·         Penambahan topik yang dianggap signifikan. Seperti penambahan pembahasan khusus yang disertai kaidah-kaidah pengucapan atau makhraj, kerena dapat menumbuhkan kesadaran dalam menjaga al-Quran.
·         Beliau berpendapat bahwa fi’il mudhori’ yang bersambung dengan nun taukid tidak berbeda dengan fi’il mudhori’ yang di dahului oleh amil nashob dimana keduanya sama-sama berkhir dengan harakat fathah. Seperti pada contoh kalimat لن أسافرَ  dari أسافرَنَ . Sebagaimana telah diketahui bahwa fi’il mudhori’yang bersambung dengan nun taukid mabni fathah.
·         Jika fi’il mudhori’ yang bersambung dengan nun taukid berharakat fathah karena nashob, lalu bagaimana dengan contoh: لا تمدحَنَّ امرا حتى تجرّبه. Lafadz تمدحَنَّ dinashobkan sedang lafadz tersebut didahukui oleh لا nahi yang notabene adalah huruf jer. Apakah nashob dan jer bisa berkumpul dalam satu keadaan yang sama?
Beliau juga merekomendasikan untuk menyamakan fi’il mudhori’ yang bersambung dengan nun niswah dalam I’rab jazem. Seperti pada contoh: النساء يسافرْن , النساء لن يسافرْن , النساء لم يسافرْن
v  Dr. dhoif  juga menganggap bahwa khobar dapat berupa marfu’, mansub dan majzum.
ü   Ketika nashob seperti contoh: ضربي العبدَ مسيئاً
ü   Ketika jer seperti contoh: وما ربُك بظلامٍ للعبيد
v  Anggapan beliau pada isim إنّ dan saudara-saudaranya sebagai mubtada’ yang didaca nashob dengan hujjah bahwa mubtada’ bisa dibaca jer ketika didahului oleh رُبَّ dan huruf  jer yang berupa tambahan. Beliau berdalih: “jika mubtada’ bisa dibaca jer, kenapa kita tidak mengatakan kalau mubtada’ bisa dibaca nashob?
v  Pada contoh: رُبَّ قولٍِِ أنفد من صول dan وليلٍ كموج البحر أرخى سدوله . lafadz قول dan ليل jelas dibaca jer karena sebagai mudhof ilaih, tetapi lafadz tersebut berkedudukan sebagai mubtada’. Sedang yang dimaksud oleh Dr. Syauqi Dhoif sebagai mubtada’ yang dibaca nashob seperti pada contoh: إن اللهَ عليم خبير
v  Beliau mengatakan “sesungguhnya mudhaf ilaih itu menyerupai isim yang ikut pada isim yang lain walaupun wajib dibaca jer. Seperti contoh ثلاثة أقلام.disini jelas bahwa lafadz أقلام mengikuti lafadz ثلاثة. Bisa juga kta katakan الأقلام الثلاثة sebagai susunan sifat atau badal.”
v  Beliau merekomendasikan untuk mengabaikan fa’il ataupun naibul fa’il ketika dalam bentuk dhomir mustatir. seperti contoh: زيد قام , محمد سُئل.  Menurut hemat beliau, tidak perlu repot-repot mengi’rabi kedua contoh yang telah disebut karena fa’il dan naibul fa’il dari keduanya “hanya” dhomir yang tidak terlihat oleh mata.
v  Rekomendasi beliau untuk mengabaikan I’rab pada jumlah. Pada contoh: مررت برجل يزرع lafadz يزرع dii’rabi jer karena sebagai sifat dari lafadz رجل yang nakiroh. Tetapi pada contoh: مررت بالرجل يزرع  lafadz  يزرع dalam keadaan nashob karena sebagai hal. Sebagaimana perkataan para ahli nahwu bahwa “setiap jumlah yang jatuh setelah isim nakiroh berupa sifat, tetapi jika setelah ma’rifat maka jumlah tersebut berkedudukan sebagai hal.
v  Beliau menganjurkan untuk mendalami penjelasan tentang kedudukan isim mabni, isim manqus, dan isim maqsur. Beliau berpendapat bahwa isim-isim ini perlu pejelasan lebih detail tentang kedudukannya pada kalimat, yang mana pada setiap I’rab yang ditempati, isim-isim ini tetap sama seperti sediakala.
v  Pada contoh: حضر سيبويهِ , رأيت سيبويهِ dan مررت بسيبويهِ. Lafadz سيبويهِ adalah isim mabni. Dalam setiap I’rab yang ditempati, lafadz سيبويهِ tidak mengalami perubahan dalam segi lafadznya. Oleh karena itu Dr. Syauqi Dhoif  mengaggap perlu untuk menjelaskan secara lebih rinci kedudukan satu lafadz yang berupa isim mabni, isim maqsur, dan isim manqus dalam jumlah.

4.   Imam as-Suyuthi
Imam as- Suyuthi lahir di Kairo setelah Maghrib malam Ahad 1 Rajab 849 H/ 3 Oktober 1449 M.[14] sedangkan nama lengkap dan Nasabnya adalah Abdurrahman bin Abi bakar bin Muhammad bin Sabiqudin bin Al-Fakhir Ustman bin Nashiruddin Muhammad bin Asy-Syaikh Hammamudin Al-Hamman Al-Khadhari As-Suyuthi. As-suyuthi berasal dari lingkungan cendikiawan sejak kecilnya. Ayahnya berusaha mengarahkannya kearah kelurusan dan keshalihan, Suyuthi kecil telah mampu menghafal al-quran di usia yang sangat dini, dan selalu diajak ayahnya diberbagai majlis ilmu dan berbagai majlis qadhinya, hingga menjadikannya sebagai seorang Ulama besar dan Penulis yang produktif dalam berbagai disiplin ilmu. Dia hidup pada masa Dinasti Mamluk pada abad ke – 15, berasal dari keluarga keturunan Persia yang semula bermukim di Baghdad, kemudian pindah ke Asyuth.
Karya dan Pemikiran Imam as-Suyuthi
Dalam bidang bahasa Arab; al-Suyuthi juga menulis beberapa buku, di antataranya: al-muzhir fi ‘Ulum al-Lughah dan al-Iqtirah fi ‘Ilm Ushul al-Nahw wa jidali, Al-Asybah wa Nadzair fi al-Nahwi,(kitab Nahwu ini menggunakan metode Fikih ) al-Akhbar al-Marwiyah fi Sabab Wadl’al- Arabiyyah,(dalam kitab ini mengumpulkan hadis-hadis khusus tentang permulaan ilmu Nahwu ) al-bahjah al-mardhiyah( komentar terhadap kitab al-Fiyah ibnu).
Kontribusi dalam bidang ilmu bahasa cukup repsentatif dalam mengembangkan wacana dalam konteks bahasa dan kesustraan yang sangat signifikan. Setiap kontribusinya dalam ranah bahasa,karena Imam as-Suyuthi memahami betul tentang pentingnya pemahaman nash atau teks dari aspek kajian kebahasaannya, agar tidak keliru dalam memahami ajaran islam itu sendiri, sehingga dia menjadikan ilmu bahasa itu sangat di perhitungkan keberadaannya, demi membentuk pemahaman kalam Allah yang utuh jauh dari kerancuan. Oleh karena itu, Imam as-Suyuthi terpanggil untuk melahirkan berbagai karya kebahasaan, khususnya dalam bidang tata bahasa Arab, sebagaimana penulis telah paparkan berbagai karya emasnya di atas.


BAB III
Kesimpulan

Nahwu pertama kali digagas oleh Imam Ali bin Abi Thalib untuk memudahkan bagi orang Arab maupun non Arab untuk belajar bahasa Arab. Kemudian gagasan ini dikembangkan oleh Abul Aswad ad Duwali (w. 69 H). selanjutnya dimulai penyusunan pokok-pokok nahwu yang dipelopori oleh Abd al Rohman bin Harmez dan Nasr bin Hasyim. Keduanya murid dari Abu al Aswad ad Duwali.
Kemudian beberapa abad kemudian seorang ahli nahwu dari Magribi bernama Ibnu Ajurum (w.723 H) menulis mukhtashar yang sangat terkenal yang ia beri judul “al-Muqaddimah al-Ajurumiyyah fi Mabâdi’ ‘ilm al-‘Arabiyyah”. Buku yang tebalnya hanya kurang dari duapuluh halaman ini mendapat sambutan sangat luas melebihi buku-buku lain serupa. Buku tersebut tidak saja menjadi buku ajar ilmu nahwu di negeri-negeri Arab, tetapi juga digunakan pula di negeri-negeri luar Arab.
Di Indonesia sendiri, terutama di pondok-pondok pesantren salaf (tradisional) hingga hari ini banyak yang masih menggunakan kitab tersebut sebagai buku wajib dalam pengajaran bidang nahwu. Sedangkan buku yang ditulis dengan maksud sebagai kritik dan penolakan atas berbagai prinsip nahwu, terutama konsep “Amil” diantranya adalah buku nahwu yang berjudul “Kitâb al-Radd ‘Ala al-Nuhât” karya Ibnu Madha’ al-Qurthubi (w. 592 H), representasi karya klasik, dan buku “Ihyâ’ al-Nahwi”, karya Ibrahim Musthafa yang terbit pertamakali pada tahun 1937, representasi kontemporer. Jika diperhatikan isi dari buku-buku di atas, sebenarnya dapat disimpulkan bahwa sebenarnya merupakan upaya penyederhanaan , pengefektifan dan penataan ulang bab-bab dalam ilmu nahwu agar menjadi sistematis, di samping juga memang ada beberapa buku yang secara terus terang menolak beberapa teori nahwu yang dianggap tidak signifikan seperti karya Ibnu Madha’ dan Ibrahim Musthafa di atas. Selain itu, beberapa tokoh lain yang mereformasi kembali ilm u nahwu adalah Syauqi Dhoif dan Imam As-Suyuthi.

DAFTAR PUSTAKA

Musthafa al-Ghulayayni, Jami’ ad-Durus al-‘Arabiyyah, (Kairo, Daar al-Hadits, 2005).
Ahmad Afify. Al Mandzumah Al Nahwiyah al- Mansubah li Al Khalil bin Ahmad Al Farahidy. (Cairo: Al Daar Al Manshuriyah Al Baniyah, 2003),
Syauqi Dhaif, Taisîru al-Nahwi al-Ta’lîmi Qadîman wa Hadîtsan Ma’a Nahji Tajdidihi, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1986),
Al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, Bughyah al-Wu’at fii Thabaqaat al-Lughawiyyin wa al-Nuhat, ditahqiq oleh Muhammad Abu al-Fadhal Ibrahim. (Lebanon: Daar al-Fikr, 1989).
Lewis, B., V.L. Menage, CH. Pellat dan J. Schacht (ed.), The Encyiclopedia of Islam. (Leiden: EJ. Brill, 1986).
Ied, Muhammad, Ushul al-Nahwy al-Arabi fii Nazhri al-Nuhaat wa Ra’yi Ibn Madha’ wa dhau’i Ilm al-Lughah al-Hadits, (Kairo: Alam al-Kutub, 1989).
Ibnu Madha’, Kitab al-Radd Ala al-Nuhat, tahqiqi Syauqi Dhaif, (Kairo: Dar al-Fikr, 1947).
‘Ala’ Isma’il al-Hamzawi, Mauqif Syauqi Dhaif min al-Darsu al-Nahwi,
M. Habib, As-suyuthi Dan Pemikirannya Di bidang Nahwu: (Jurnal Adabiyat, Vol. 3, No. II,).



[2] Musthafa al-Ghulayayni, Jami’ ad-Durus al-‘Arabiyyah, (Kairo, Daar al-Hadits, 2005), h. 8.
[3] Ahmad Afify. Al Mandzumah Al Nahwiyah al- Mansubah li Al Khalil bin Ahmad Al Farahidy. (Cairo: Al Daar Al Manshuriyah Al Baniyah, 2003), hal. 11.
[4]. Syauqi Dhaif, Taisîru al-Nahwi al-Ta’lîmi Qadîman wa Hadîtsan Ma’a Nahji Tajdidihi, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1986), hal. 14.
[5] Al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, Bughyah al-Wu’at fii Thabaqaat al-Lughawiyyin wa al-Nuhat, ditahqiq oleh Muhammad Abu al-Fadhal Ibrahim. (Lebanon: Daar al-Fikr, 1989). Hal. 3230.
[6] Lewis, B., V.L. Menage, CH. Pellat dan J. Schacht (ed.), The Encyiclopedia of Islam. (Leiden: EJ. Brill, 1986). Hal. 855.
[7] Ied, Muhammad, Ushul al-Nahwy al-Arabi fii Nazhri al-Nuhaat wa Ra’yi Ibn Madha’ wa dhau’i Ilm al-Lughah al-Hadits, (Kairo: Alam al-Kutub, 1989). Hal. 38.
[8] Al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, Bughyah al-Wu’at fii Thabaqaat al-Lughawiyyin wa al-Nuhat, ditahqiq oleh Muhammad Abu al-Fadhal Ibrahim. (Lebanon: Daar al-Fikr, 1989). Hal. 233.
[9] Ied, Muhammad, Ushul al-Nahwy al-Arabi fii Nazhri al-Nuhaat wa Ra’yi Ibn Madha’ wa dhau’i Ilm al-Lughah al-Hadits, (Kairo: Alam al-Kutub, 1989), hal. 39.
[10] Ied, Muhammad, Ushul al-Nahwy al-Arabi fii Nazhri al-Nuhaat wa Ra’yi Ibn Madha’ wa dhau’i Ilm al-Lughah al-Hadits, (Kairo: Alam al-Kutub, 1989), hal. 40-41.
[11]  Ibnu Madha’, Kitab al-Radd Ala al-Nuhat, tahqiqi Syauqi Dhaif, (Kairo: Dar al-Fikr, 1947).
[12] Dikutip dari www.wikipedia.com. Pada tgl 19 Juni 2012
[13] ‘Ala’ Isma’il al-Hamzawi, Mauqif Syauqi Dhaif min al-Darsu al-Nahwi, hal. 11-17.
[14] M. Habib, As-suyuthi Dan Pemikirannya Di bidang Nahwu: (Jurnal Adabiyat, Vol. 3, No. II,). Juli 2004


Tidak ada komentar:

Posting Komentar