Minggu, 18 November 2012

Ushul Nahwu


Ushul Nahwu


Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas kelompok
mata kuliah Tarikh ‘Ulum Al Arabiyah

Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ahmad Tibb Raya
Wati Susilawati, MA














Disusun oleh:
Ade Wahyu
Dika Irawan
(Kelompok 8)


PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

Tahun akademik 2011/2012


BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu-ilmu bahasa Arab diantaranya adalah ilmu al Qur’an, ilmu al Hadits, ilmu al Ushul al Fiqh ilmu an Nahw dan al Sharf, ilmu al lughah wa Fiqh al Lughah, ilmu Balaghah, ilmu Ushul an Nahw, ilmu al Ashwat, ilmu al Dilalah, ilmu al Ushlub, dan ilmu al Adab.
Namun pemakalah hanya akan membahas salah satu dari ilmu-ilmu itu, yaitu ilmu Ushul al Nahw. Sebagaimana Ushul Fiqh, ushul al Nahw diformulasikan sesudah nahwu. Ushul al Nahw merupakan prinsip-prinsip yang melandasi ilmu nahwu dalam berbagai persoalan dan aflikasinya.[1] Ilmu al Ushul al Nahw tidak hanya menyoroti sumber-sumber, dalil-dalil, dan prinsip-prinsip perumusan nahwu sebagai ilmu, melainkan juga mengkaji berbagai perbedaan pendapat dikalangan ahli nahwu dalam memahami fenomena-fenomena bahasa Arab sejak masa Jahiliyah hingga masa pembukuan bahasa, khususnya Nahwu.
Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini pemakalah akan membahas mengenai hal tersebut. Selain sebagai tugas yang diberikan Bapak Dosen Mata Kuliah Al Ulum Al Arabiyah, pemakalah juga akan membagi pengetahuan mengenai hal-hal yang terkait dan mencakup dengan pembahasan masalah tersebut.
Pemakalah akan membahas lebih lanjut berdasarkan berbagai sumber bacaan dan media internet dengan tujuan memberikan pengetahuan yang luas untuk kita semua.
 
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian
Sebagaimana dalam kajian ushul fiqh, istilah uhsul juga dipergunakan oleh para ahli bahasa dalam ilmu nahwu. Kata ushul dan nahwu dirangkai satu sehingga menjadi istilah Ushul al-Nahwi. Sebagaimana peran penting Ushul Fiqh dalam kajian Fiqh, Ushul an-Nahwi juga mempunyai peran yang sangat signifikan dalam ilmu nahwu. Meskipun Ushul Fiqh dan Ushul an-Nahwi merupakan dua wilayah keilmuan yang berdiri sendiri, tetapi antara keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Keberadaan kedua disiplin keilmuan sebagai prinsip dasar-teoritis dan keeratan hubungan antara keduanya mengharus kita untuk melihat ilmu nahwu dan Fiqh dalam satu kerangka kajian.
Kata ashl berarti sesuatu yang melandasi yang lain. Atau dengan kata lain, dasar yang dijadikan pondasi. Bentuk jamak (plural) dari kata tersebut adalah ushul. Secara etimologis, kata ushul juga bisa diartikan sebagai ’sesuatu yang dibutuhkan dan tidak butuh pada yang lain’. Istilah Ushul an-Nahwi berarti prinsip-prinsip dasar yang membangun ilmu nahwu, baik masalah maupun praktik yang ada di dalamnya. Atau Ushul an-Nahwi juga bisa didefinisikan sebagai ’dalil-dalil nahwu yang darinya lahir cabang-cabang dan bagian-bagian’.[1]
Dalam definisi lain juga disebutkan, bahwa kata “Ushul al-nahwu”  adalah kata ganda yang terdiri dari kata “Ushul” dan “nahwu”. Kata “ushul” adalah bentuk jamak dari kata “ashl” yang menurut bahasa berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Sedangkan kata “nahwu” merupakan bentruk masdar dari “nahaa yanhuu nahwan” yang berarti condong,  cenderung, dan menuju atau maksud.[2]
Ushul  Al-nahwu didefinisikan antara lain sebagai ilmu yang membahas dalil-dalil nahwu secara globaldari dalil-dalil itu sendiri, cara Istidlal (proses penyimpulan dan penetapan kaidah atau hukum) dan kondisi yang beristidlal.

B.       Konsep Dasar
Sebagaimana Ushul al-fiqh, ushul al-nahwu diformulasikan sesudah nahwu. Ushul al-nahwu merupakan prinsip-prinsip yang melandasi ilmu nahwu dalam berbagai persoalan dan aplikasinuya.[3] Ushul al-nahwu tidak hanya menyoroti sumber-sumber, dalil-dalil, dan prinsip-prinsip perumusan nahwu sebagai ilmu, melainkan juga mengkaji berbagai perbedaan pendapat dikalangan ahli nahwu dalam memahami  fenomena-fenomena  bahasa Arab sejak masa jahiliyah sampai masa pembakuan dan pembukuan bahasa, khususnya nahwu.[4]
Proses formulasi atau pengaidahan nahwu dilakukan para ahlinya seiring dengan perkembangan dan tuntutan metodologi sebuah ilmu. Jika konstruksi nahwu relatif sudah “matang dan mapan” pada masa al-Khalid ibn Ahmad (100-175 H) dan Sibawaih (w. 180 H) pada abad kedua Hijriyah, maka Ushul al-nahwu baru baru mulai diformulasikan oleh Ibnu al-Sarraj (w. 316 H) pada abad ketiga Hijriyah. Ushul al-nahwu sangat penting dipahami karena merupakan landasan dan kerangkan epistimologi nahwu.
Sebagai profesi keilmuan, nahwu dianggap sebagai ilmu yang akurat, benar dan kokoh. Karena memenuhi empat kriteria keilmuan, yaitu: Objektif, Komprehensif, konsistensi, dan ekonomis. Nahwu dikembangkan melalui Sama’ lalu dilakukan istiqra’ atau induksi terhadap perkataan bangsa Arab. Proses Sama’ itu sangat selektif dan didasarkan pada metode tertentu dengan seleksi historis, sosial, dan geografis tertentu. Secara historis perkataan bahasa dan sastra Arab yang dijadikan referensi Sama’ adalah perkataan dari Umru al-Qais  hingga Ibn Haramah. Secara sosial, yang menjadi referensi Sama’ adalah kabilah Qais, Tamim, Asad, Hudzail, dan orang-orang yang dibesarkan di lingkunga kabilah tersebut. Sedangkan dari segi geografis, acuan Sama’ yang disepakati menjadi dasar pengaidahan adalah jazirah Arabia.[5]
Dengan kata lain, penetapan sumber dan pembatasan area geografis dalam penyimpula, pengaidahan, pembakuan kaidah-kaidah nahwu merupakan prinsip metodologis yang sangat signifikan, karena bahasa adalah sistem bunyi, ujaran, dan makna yang bersifat arbitrer dan memiliki karakteristik tertentu.
Sebagai ilmu yang solid, nahwu dirumuskan oleh para ahlinya melalui proses Ihtijaj (pengambilan dan penetapan hujjah) dan Istidlal (penetapan dalil) berdasarkan Syawahid (bukti-bukti) yang meyakinkan, sehingga darinya dapat diperoleh abstraksi berupa kaidah nahwu yang berlaku umum. Dalam rangka pembakuan dan pembukuan kaidah-kaidah nahwu, menurut Tammam Hassan yang dikutip dari buku “Pemikliran Linguistik Tammam Hassan dalam Pembelajaran Bahasa Arab”  karangan Dr. Muhbib Abdul Wahhab, MA. Setidak-tidaknya ada tiga sumber yang dijadikan sebagai referensi, yaitu: al-Qur’an, al-Hadits, dan kalam al-Arab, baik berupa nsyair maupun prosa.  Drmikian pula, di era modern ini, ketiga sumber tersebut masih sangat relevan untuk dijadikan sebagai acuan dalam pengaidahan.

C.      Ruang Lingkup Ushul al-nahwi
Pada umumnya, dalil-dalil nahwu yang menjadi objek dan perumusan kaidah Ushul al-nahwu dan ilmu bahasa Arab, yaitu: Sama’ Qiyas, dan Istishhab.

1. al-Sama’
     Istilah al-Sama’ setidak-tidaknya digunakan dalam dua konteks, yaitu pertama pembuatan dan pengguanaan bentuk kata yang didasarkan pada apa yang biasa digunakan dan didengar langsung dari orang Arab yang dinilai Fashih. Dan kedua penggunaan metode pembakuan kaidah nahwu melalui proses penelusuran, penyimaka, pencatatan langsung dari fushha al-arab.

2. al-Qiyas
     Oleh karena nahwu merupakan sebuah ilmu tentang norma-norma atau kaidah-kaidah yang disimpulkan melalui induksi perkataan orang Arab, maka Qiyas dipandang sebagai metodenya yang paling utama. Dalam hal ini dijelaskan bahwa Qiyas dikalangan ahli nahwu itu sendiri diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: al-Qiyas al-Isti’mali dan al-Qiyas al-Nahwi. al-Qiyas al-Isti’mali merupakan upaya mengikuti perkataan Arab, sehingga Qiyas itu tiak merupakan nahwu itu sendiri, melainkan aplikasi ndari nahwu. Sedangkan al-Qiyas al-Nahwi merupakan analogi hukum/ketentuan/kaidah. yaitu menganalogikan yang bukan manqul (yang diriwayatkan) kepada yang manqul jika yang dianalogikan itu memiliki kesamaan.


3. al-Istishhab
     Sesuai dengan namanya, konsep Istishhab berkaitan erat dengan ide tentang al-Ashl karena beristishhab dalam rumusan kaidah nahwu berarti merujuk kepada asal. Ibn al-anbari mendefinisikan istishhab sebagai mempertahankan kondisi lafadz tetap pada asalnya ketika tidak ada dalil naqli tentang asal. Istishhab termasuk salah satu dalil Ushul al-nahwu yang diakui sebagai otoritatif.[6]

D.      Tokoh-tokoh dalam Ushul al-nahwu
Diantara  tokoh yang terkenal dalam Ushul Nahwu antara lain:
1.    Ibn Sarraj
Abu Bakar Muhammad Ibn Sarraj (w. 316 H). Beliau adalah orang pertama yang merumuskan Ushul al-nahw berdasarkan karya Sibawaih yaitu al-Kitab. Ia berusaha membuat dasar-dasar yang melandasi verifikasi dan penyimpulan kaidah-kaidah nahwu, baik aliran bashrah maupun kuffah.[7]
2.    Ibnu Jinni
Nama lengkapnya adalah Abu al-fatah Utsman bin Jinni. Dilahirkan di Mosul sebelum tahun 330 H. (ada yang mengatakan dia lahir pada 320 H.). beliau berguru pada ibnu Muqsam, abu al-Faraj al-Asfihani, Abu al-Abbas ahmad bin Muhammad dikenal dengan Imam akhfas dan Abu Sahl al-Qattam. Karyanya dalam ilmu nahwu: Kitab Ta’aqub fi al-‘arabiyah, kitab Mu’rab, Kitab talkin, Kitab Lam, Kitab Alfadz min Mahmuz, Kitab Mudzakar wa Muannats,  Kitab Khashaish, dan lain-lainnya.[8]
3.        Al-anbary
Nama lengkapnya abu al-Barakat Kamaluddin abdurrahman bin Abu wafa’ Muhammad bin abdullah bin Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Said Muhammad bin Hasan bin sulaiman al-Anbary. Dia dilahirkan di Anbar (sebuah kota kuno di tepi sungai Eufrat). Pada bulan Rabi’ul akhir tahun 513H. Beliau belajar Fiqih dari Said bin Razaz, belajar nahwu dari Ibnu Sajary, belajar sastra dari Ibnu Jawaliqi, beliau mempunyai karya ilmiah sangat banyak sekitar 65 dalam bentuk kitab dan makalah. Diantaranya karyanya adalah kitab Lam’ul Adillah fi al-Nahwi, asraru al-‘arabiyah, Mizanu al-‘Arabiyah, Halbatu al-‘arabiyah, Ghara’ib I’rab al-Qur’an, Diwan al-Lughah, dan lain-lainnya.
4.                    Ibnu Madha’.
 Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Saad bin Harits bin Ashim Ibnu Madha’ al-Lakhmi (w. 592 H). Dalam literatur-literatur sejarah disebutkan, bahwa Ibnu Madha’ memiliki beberapa buku. Yang paling terkenal adalah buku ar-Radd ala an-Nuhat wa al-Masyriq fi an-Nahwi, yaitu berisi tentang pilar-pilar dasar yang membangun ilmu nahwu atau yang lebih dikenal dengan uhsul an-nahwi, termasuk juga mendiskusikan metode berpikir yang digunakan.

E.       Korelasi Ushul al-nahwu dengan bahasa Arab
Berdasarkan ruang lingkup Ushul al-nahwu di atas, maka dapat kita pahami bahwa korelasi antara Uahul al-nahwu dengan bahasa Arab yaitu Ushul nahwu yang membahas kaidah dasar pengambilan hukum dalam membentuk suatu kaidah bahasa yang baku dalam pengaplikasian bahasa Arab baik itu pengguna asli maupun bagi non-Arab yang ingin menguasai bahasa Arab.

 
BAB III
KESIMPULAN

Ushul  Al-nahwu didefinisikan antara lain sebagai ilmu yang membahas dalil-dalil nahwu secara globaldari dalil-dalil itu sendiri, cara Istidlal (proses penyimpulan dan penetapan kaidah atau hukum) dan kondisi yang beristidlal
Sebagaimana Ushul al-fiqh, ushul al-nahwu diformulasikan sesudah nahwu. Ushul al-nahwu merupakan prinsip-prinsip yang melandasi ilmu nahwu dalam berbagai persoalan dan aplikasinuya. Ushul al-nahwu tidak hanya menyoroti sumber-sumber, dalil-dalil, dan prinsip-prinsip perumusan nahwu sebagai ilmu, melainkan juga mengkaji berbagai perbedaan pendapat dikalangan ahli nahwu dalam memahami  fenomena-fenomena  bahasa Arab sejak masa jahiliyah sampai masa pembakuan dan pembukuan bahasa, khususnya nahwu.
Pada umumnya, dalil-dalil nahwu yang menjadi objek dan perumusan kaidah Ushul al-nahwu dan ilmu bahasa Arab, yaitu: Sama’ Qiyas, dan Istishhab.
Salah satu tokoh yang terkenal dalam Ushul Nahwu adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Sarraj (w. 316 H). Beliau adalah orang pertama yang merumuskan Ushul al-nahw berdasarkan karya Sibawaih yaitu al-Kitab. Ia berusaha membuat dasar-dasar yang melandasi verifikasi dan penyimpulan kaidah-kaidah nahwu, baik aliran bashrah maupun kuffah.
Korelasi antara Ushul al-nahwu dengan bahasa Arab yaitu ushul al-nahwu merupakan metodologi verifikasi dan standarisasi keabsahan kaidah-kaidah nahwu berdasarkan dalil-dalilnya.



[2]  Ibrahim Mushthafa, al-mu’jam al-wasith, juz II, ( Istanbul, al-maktabah al-islamiyah, 1972), Cet II, hal. 908.
[3]  Muhammad ‘Ied, Ushul al-nahwi al-‘arabi, (Kairo, ‘Alam al-kutub, 2006), Cet V, hal. 5.
[4]  Muhbib Abdul Wahhab, Pemikliran Linguistik Tammam Hassan dalam Pembelajaran Bahasa Arab, (UIN Jakarata Press,  2009), Cet. I, hal. 153.
[5]  Tammam Hassan, al-Ushul: Dirasah Epistimulujiyah Li al-fikr al-Lughawi ‘Inda al-Arab (al-nahwu-Fiqh al-lughah-al-Balaghah), (Kairo: ‘Alam al-kutub, 2000), Edisi Revisi, hal. 57.
[6]  Ibn al-anbari, al-Inshaf fi masail al-khilaf, (Kairo: Mathba’ah al-Istiqamah, 1964), Jilid I, hal. 300.
[7]  Mahmud Fahmi Hijazi, ‘Ilm al-lughah al-Arabiyah: Madkhal Tarikhi Muqaran fi Dhaw al-Turats wa al-lughat al-samiyah, (al-Kuwait: Waakalah al-Mathbu’at, 1973).


[1]  Muhammad Id, Ushul al Nahwi al Arabi, (Kairo: Alam al Kutub, 2006), Cet. V, h. 5.