Ushul Nahwu
Makalah ini diajukan
untuk memenuhi tugas kelompok
mata kuliah Tarikh
‘Ulum Al Arabiyah
Dosen Pembimbing: Prof. Dr.
Ahmad Tibb Raya
Wati
Susilawati, MA
Disusun oleh:
Ade Wahyu
Dika Irawan
(Kelompok 8)
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Tahun akademik 2011/2012
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu-ilmu bahasa Arab diantaranya adalah ilmu al Qur’an,
ilmu al Hadits, ilmu al Ushul al Fiqh ilmu an Nahw dan al Sharf, ilmu al lughah
wa Fiqh al Lughah, ilmu Balaghah, ilmu Ushul an Nahw, ilmu al Ashwat, ilmu al
Dilalah, ilmu al Ushlub, dan ilmu al Adab.
Namun pemakalah hanya akan membahas salah satu dari
ilmu-ilmu itu, yaitu ilmu Ushul al Nahw. Sebagaimana Ushul Fiqh, ushul al Nahw
diformulasikan sesudah nahwu. Ushul al Nahw merupakan prinsip-prinsip yang
melandasi ilmu nahwu dalam berbagai persoalan dan aflikasinya.[1]
Ilmu al Ushul al Nahw tidak hanya menyoroti sumber-sumber, dalil-dalil, dan
prinsip-prinsip perumusan nahwu sebagai ilmu, melainkan juga mengkaji berbagai
perbedaan pendapat dikalangan ahli nahwu dalam memahami fenomena-fenomena
bahasa Arab sejak masa Jahiliyah hingga masa pembukuan bahasa, khususnya Nahwu.
Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini pemakalah akan
membahas mengenai hal tersebut. Selain sebagai tugas yang diberikan Bapak Dosen
Mata Kuliah Al Ulum Al Arabiyah, pemakalah
juga akan membagi pengetahuan mengenai hal-hal yang terkait dan mencakup dengan
pembahasan masalah tersebut.
Pemakalah akan membahas lebih lanjut berdasarkan berbagai sumber bacaan dan
media internet dengan tujuan memberikan pengetahuan yang luas untuk kita semua.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Sebagaimana dalam kajian ushul fiqh,
istilah uhsul juga dipergunakan oleh para ahli bahasa dalam ilmu nahwu. Kata ushul
dan nahwu dirangkai satu sehingga menjadi istilah Ushul al-Nahwi.
Sebagaimana peran penting Ushul Fiqh dalam kajian Fiqh, Ushul an-Nahwi juga
mempunyai peran yang sangat signifikan dalam ilmu nahwu. Meskipun Ushul Fiqh
dan Ushul an-Nahwi merupakan dua wilayah keilmuan yang berdiri sendiri, tetapi
antara keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Keberadaan kedua disiplin
keilmuan sebagai prinsip dasar-teoritis dan keeratan hubungan antara keduanya
mengharus kita untuk melihat ilmu nahwu dan Fiqh dalam satu kerangka kajian.
Kata ashl
berarti sesuatu yang melandasi yang lain. Atau dengan kata lain, dasar yang dijadikan
pondasi. Bentuk jamak (plural) dari kata tersebut adalah ushul. Secara
etimologis, kata ushul juga bisa diartikan sebagai ’sesuatu yang
dibutuhkan dan tidak butuh pada yang lain’. Istilah Ushul an-Nahwi
berarti prinsip-prinsip dasar yang membangun ilmu nahwu, baik masalah maupun
praktik yang ada di dalamnya. Atau Ushul an-Nahwi juga bisa
didefinisikan sebagai ’dalil-dalil nahwu yang darinya lahir cabang-cabang dan
bagian-bagian’.[1]
Dalam definisi lain juga
disebutkan, bahwa kata “Ushul
al-nahwu” adalah kata ganda yang terdiri
dari kata “Ushul” dan “nahwu”. Kata “ushul” adalah bentuk jamak dari kata “ashl”
yang menurut bahasa berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain.
Sedangkan kata “nahwu” merupakan bentruk masdar dari “nahaa yanhuu nahwan” yang
berarti condong, cenderung, dan menuju atau maksud.[2]
Ushul Al-nahwu didefinisikan antara lain sebagai
ilmu yang membahas dalil-dalil nahwu secara globaldari dalil-dalil itu sendiri,
cara Istidlal (proses penyimpulan dan penetapan kaidah atau hukum) dan
kondisi yang beristidlal.
B. Konsep Dasar
Sebagaimana Ushul al-fiqh, ushul
al-nahwu diformulasikan sesudah nahwu. Ushul al-nahwu merupakan
prinsip-prinsip yang melandasi ilmu nahwu dalam berbagai persoalan dan
aplikasinuya.[3] Ushul
al-nahwu tidak hanya menyoroti sumber-sumber, dalil-dalil, dan
prinsip-prinsip perumusan nahwu sebagai ilmu, melainkan juga mengkaji berbagai
perbedaan pendapat dikalangan ahli nahwu dalam memahami fenomena-fenomena bahasa Arab sejak masa jahiliyah sampai masa
pembakuan dan pembukuan bahasa, khususnya nahwu.[4]
Proses formulasi atau pengaidahan
nahwu dilakukan para ahlinya seiring dengan perkembangan dan tuntutan
metodologi sebuah ilmu. Jika konstruksi nahwu relatif sudah “matang dan
mapan” pada masa al-Khalid ibn Ahmad (100-175 H) dan Sibawaih (w. 180 H) pada
abad kedua Hijriyah, maka Ushul al-nahwu baru baru mulai diformulasikan
oleh Ibnu al-Sarraj (w. 316 H) pada abad ketiga Hijriyah. Ushul al-nahwu
sangat penting dipahami karena merupakan landasan dan kerangkan epistimologi
nahwu.
Sebagai profesi keilmuan, nahwu
dianggap sebagai ilmu yang akurat, benar dan kokoh. Karena memenuhi empat
kriteria keilmuan, yaitu: Objektif, Komprehensif, konsistensi, dan ekonomis.
Nahwu dikembangkan melalui Sama’ lalu dilakukan istiqra’ atau induksi
terhadap perkataan bangsa Arab. Proses Sama’ itu sangat selektif dan
didasarkan pada metode tertentu dengan seleksi historis, sosial, dan geografis
tertentu. Secara historis perkataan bahasa dan sastra Arab yang dijadikan
referensi Sama’ adalah perkataan dari Umru al-Qais hingga Ibn Haramah. Secara sosial, yang
menjadi referensi Sama’ adalah kabilah Qais, Tamim, Asad, Hudzail, dan
orang-orang yang dibesarkan di lingkunga kabilah tersebut. Sedangkan dari segi
geografis, acuan Sama’ yang disepakati menjadi dasar pengaidahan adalah
jazirah Arabia.[5]
Dengan kata lain, penetapan sumber
dan pembatasan area geografis dalam penyimpula, pengaidahan, pembakuan
kaidah-kaidah nahwu merupakan prinsip metodologis yang sangat signifikan,
karena bahasa adalah sistem bunyi, ujaran, dan makna yang bersifat arbitrer dan
memiliki karakteristik tertentu.
Sebagai ilmu yang solid, nahwu
dirumuskan oleh para ahlinya melalui proses Ihtijaj (pengambilan dan
penetapan hujjah) dan Istidlal (penetapan dalil) berdasarkan Syawahid (bukti-bukti)
yang meyakinkan, sehingga darinya dapat diperoleh abstraksi berupa kaidah nahwu
yang berlaku umum. Dalam rangka pembakuan dan pembukuan kaidah-kaidah nahwu,
menurut Tammam Hassan yang dikutip dari buku “Pemikliran Linguistik Tammam
Hassan dalam Pembelajaran Bahasa Arab” karangan
Dr. Muhbib Abdul Wahhab, MA. Setidak-tidaknya ada tiga sumber yang dijadikan sebagai
referensi, yaitu: al-Qur’an, al-Hadits, dan kalam al-Arab, baik berupa nsyair
maupun prosa. Drmikian pula, di era
modern ini, ketiga sumber tersebut masih sangat relevan untuk dijadikan sebagai
acuan dalam pengaidahan.
C. Ruang Lingkup Ushul al-nahwi
Pada umumnya, dalil-dalil nahwu
yang menjadi objek dan perumusan kaidah Ushul al-nahwu dan ilmu bahasa Arab,
yaitu: Sama’ Qiyas, dan Istishhab.
1. al-Sama’
Istilah
al-Sama’ setidak-tidaknya digunakan dalam dua konteks, yaitu pertama pembuatan
dan pengguanaan bentuk kata yang didasarkan pada apa yang biasa digunakan dan
didengar langsung dari orang Arab yang dinilai Fashih. Dan kedua penggunaan
metode pembakuan kaidah nahwu melalui proses penelusuran, penyimaka, pencatatan
langsung dari fushha al-arab.
2. al-Qiyas
Oleh
karena nahwu merupakan sebuah ilmu tentang norma-norma atau kaidah-kaidah yang
disimpulkan melalui induksi perkataan orang Arab, maka Qiyas dipandang
sebagai metodenya yang paling utama. Dalam hal ini dijelaskan bahwa Qiyas dikalangan
ahli nahwu itu sendiri diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: al-Qiyas
al-Isti’mali dan al-Qiyas al-Nahwi. al-Qiyas al-Isti’mali merupakan
upaya mengikuti perkataan Arab, sehingga Qiyas itu tiak merupakan nahwu
itu sendiri, melainkan aplikasi ndari nahwu. Sedangkan al-Qiyas al-Nahwi
merupakan analogi hukum/ketentuan/kaidah. yaitu menganalogikan yang bukan manqul
(yang diriwayatkan) kepada yang manqul jika yang dianalogikan itu
memiliki kesamaan.
3. al-Istishhab
Sesuai
dengan namanya, konsep Istishhab berkaitan erat dengan ide tentang al-Ashl
karena beristishhab dalam rumusan kaidah nahwu berarti merujuk kepada
asal. Ibn al-anbari mendefinisikan istishhab sebagai mempertahankan
kondisi lafadz tetap pada asalnya ketika tidak ada dalil naqli tentang
asal. Istishhab termasuk salah satu dalil Ushul al-nahwu yang
diakui sebagai otoritatif.[6]
D. Tokoh-tokoh dalam Ushul al-nahwu
Diantara
tokoh yang
terkenal dalam Ushul Nahwu antara lain:
1.
Ibn
Sarraj
Abu Bakar Muhammad Ibn Sarraj (w. 316 H). Beliau adalah orang pertama
yang merumuskan Ushul al-nahw berdasarkan karya Sibawaih yaitu al-Kitab.
Ia berusaha membuat dasar-dasar yang melandasi verifikasi dan penyimpulan
kaidah-kaidah nahwu, baik aliran bashrah maupun kuffah.[7]
2.
Ibnu Jinni
Nama lengkapnya
adalah Abu al-fatah Utsman bin Jinni. Dilahirkan di Mosul sebelum tahun 330 H.
(ada yang mengatakan dia lahir pada 320 H.). beliau berguru pada ibnu Muqsam,
abu al-Faraj al-Asfihani, Abu al-Abbas ahmad bin Muhammad dikenal dengan Imam
akhfas dan Abu Sahl al-Qattam. Karyanya dalam ilmu nahwu: Kitab Ta’aqub fi
al-‘arabiyah, kitab Mu’rab, Kitab talkin, Kitab Lam, Kitab Alfadz min Mahmuz,
Kitab Mudzakar wa Muannats, Kitab Khashaish,
dan lain-lainnya.[8]
3.
Al-anbary
Nama lengkapnya abu
al-Barakat Kamaluddin abdurrahman bin Abu wafa’ Muhammad bin abdullah bin
Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Said Muhammad bin Hasan bin sulaiman al-Anbary.
Dia dilahirkan di Anbar (sebuah kota kuno di tepi sungai Eufrat). Pada bulan
Rabi’ul akhir tahun 513H. Beliau belajar Fiqih dari Said bin Razaz, belajar
nahwu dari Ibnu Sajary, belajar sastra dari Ibnu Jawaliqi, beliau mempunyai
karya ilmiah sangat banyak sekitar 65 dalam bentuk kitab dan makalah. Diantaranya
karyanya adalah kitab Lam’ul Adillah fi al-Nahwi, asraru al-‘arabiyah, Mizanu
al-‘Arabiyah, Halbatu al-‘arabiyah, Ghara’ib I’rab al-Qur’an, Diwan al-Lughah,
dan lain-lainnya.
4.
Ibnu Madha’.
Nama lengkapnya
adalah Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Saad bin Harits bin Ashim Ibnu
Madha’ al-Lakhmi (w. 592 H). Dalam
literatur-literatur sejarah disebutkan, bahwa Ibnu Madha’ memiliki beberapa
buku. Yang paling terkenal adalah buku ar-Radd ala an-Nuhat wa al-Masyriq fi
an-Nahwi, yaitu berisi tentang pilar-pilar dasar yang membangun ilmu nahwu
atau yang lebih dikenal dengan uhsul an-nahwi, termasuk juga
mendiskusikan metode berpikir yang digunakan.
E. Korelasi Ushul al-nahwu dengan bahasa Arab
Berdasarkan
ruang lingkup Ushul al-nahwu di atas, maka dapat kita pahami bahwa korelasi
antara Uahul al-nahwu dengan bahasa Arab yaitu Ushul nahwu yang membahas kaidah
dasar pengambilan hukum dalam membentuk suatu kaidah bahasa yang baku dalam
pengaplikasian bahasa Arab baik itu pengguna asli maupun bagi non-Arab yang
ingin menguasai bahasa Arab.
BAB III
KESIMPULAN
Ushul
Al-nahwu didefinisikan antara lain sebagai ilmu yang membahas
dalil-dalil nahwu secara globaldari dalil-dalil itu sendiri, cara Istidlal (proses
penyimpulan dan penetapan kaidah atau hukum) dan kondisi yang beristidlal
Sebagaimana Ushul al-fiqh, ushul
al-nahwu diformulasikan sesudah nahwu. Ushul al-nahwu merupakan
prinsip-prinsip yang melandasi ilmu nahwu dalam berbagai persoalan dan
aplikasinuya. Ushul al-nahwu tidak hanya menyoroti sumber-sumber,
dalil-dalil, dan prinsip-prinsip perumusan nahwu sebagai ilmu, melainkan juga
mengkaji berbagai perbedaan pendapat dikalangan ahli nahwu dalam memahami fenomena-fenomena bahasa Arab sejak masa jahiliyah sampai masa
pembakuan dan pembukuan bahasa, khususnya nahwu.
Pada
umumnya, dalil-dalil nahwu yang menjadi objek dan perumusan kaidah Ushul
al-nahwu dan ilmu bahasa Arab, yaitu: Sama’ Qiyas, dan Istishhab.
Salah satu tokoh yang
terkenal dalam Ushul Nahwu adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Sarraj (w. 316 H).
Beliau adalah orang pertama yang merumuskan Ushul al-nahw berdasarkan
karya Sibawaih yaitu al-Kitab. Ia berusaha membuat dasar-dasar yang
melandasi verifikasi dan penyimpulan kaidah-kaidah nahwu, baik aliran bashrah
maupun kuffah.
Korelasi antara
Ushul al-nahwu dengan bahasa Arab yaitu ushul al-nahwu merupakan metodologi
verifikasi dan standarisasi keabsahan kaidah-kaidah nahwu berdasarkan
dalil-dalilnya.
[1] Dikutip dari: http://www.jurnallingua.com/edisi-2009/9-vol-1-no-1/68-pengaruh-pemikiran-ibnu-madha-tentang-ushul-al-nahwi-al-arabi-dalam-memahami-teks-keagamaan.html.
diakses pada tanggal 4 Mei 2012.
[2]
Ibrahim Mushthafa, al-mu’jam al-wasith, juz
II, ( Istanbul, al-maktabah al-islamiyah, 1972), Cet II, hal. 908.
[3] Muhammad ‘Ied, Ushul al-nahwi al-‘arabi,
(Kairo, ‘Alam al-kutub, 2006), Cet V, hal. 5.
[4] Muhbib Abdul Wahhab, Pemikliran Linguistik
Tammam Hassan dalam Pembelajaran Bahasa Arab, (UIN Jakarata Press, 2009), Cet. I, hal. 153.
[5] Tammam Hassan, al-Ushul: Dirasah
Epistimulujiyah Li al-fikr al-Lughawi ‘Inda al-Arab (al-nahwu-Fiqh
al-lughah-al-Balaghah), (Kairo: ‘Alam al-kutub, 2000), Edisi Revisi, hal. 57.
[6] Ibn al-anbari, al-Inshaf fi masail al-khilaf,
(Kairo: Mathba’ah al-Istiqamah, 1964), Jilid I, hal. 300.
[7] Mahmud Fahmi Hijazi, ‘Ilm al-lughah
al-Arabiyah: Madkhal Tarikhi Muqaran fi Dhaw al-Turats wa al-lughat al-samiyah,
(al-Kuwait: Waakalah al-Mathbu’at, 1973).
[1]
Muhammad Id, Ushul al Nahwi al Arabi,
(Kairo: Alam al Kutub, 2006), Cet. V, h. 5.
Bagus gan......
BalasHapusMari kunjungi http://ardiansyahbs.blogspot.com/