Perkembangan
Ilmu Nahwu Kontemporer
Makalah ini diajukan
untuk memenuhi tugas akhir
semester
mata kuliah Tarikh
‘Ulum Al Arabiyah
Dosen Pembimbing: Prof. Dr.
Ahmad Tibb Raya
Wati
Susilawati, MA
Disusun oleh:
Ade Wahyu (108012000036)
Agus Syukur (108012000046)
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Tahun akademik 2011/2012
BAB
I
Pendahuluan
Ilmu
Nahwu atau biasa disebut nahwu saja, adalah merupakan salah satu cabang
pengetahuan tradisional Islam terpenting, khususnya terkait dengan masalah
kebahasaan. Pada masa awal kelahirannya, ilmu ini dimaksudkan sebagai panduan
dan kaidah bagi bahasa Arab yang benar dan fasih. Tetapi dalam perkembangannya
kemudian, ilmu nahwu telah berubah menjadi suatu disiplin yang pelik dan rumit.
Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang turut mematangkan dan mempengaruhi
disiplin ini, terutama pengaruh logika formal, filsafat dan ilmu kalam.
Karenanya,
dalam menyusun kaidah-kaidah nahwiyyah pun para ahli nahwu menggunakan metode
logika formal dan falsafati yang sarat akan alasan, sylogisme dan terma-terma
lain yang diadopsi dari disipilin lain itu. Akibatnya, nahwu telah kehilangan
fungsinya sebagai kaidah yang simpel dan membantu para peminat bahasa Arab, dan
bahkan ia seringkali dituduh sebagai penghambat mempelajari bahasa Arab.
Corak
nahwu yang telah berkembang sedemikian rupa itu pada gilirannya memunculkan
sebuah kesadaran baru dari para tokoh nahwu generasi klasik seperti Ibnu
Madha’, hingga pada akhirnya para tokoh kontemporer ilmu nahwuseperti As
suyuthi, Ibrahim Musthafa, Syauqi Dhoif, dan lain sebagainya untuk membuat
rumusan baru atau reformulasi dan mengembalikan tujuan semula ilmu ini
dibangun. Untuk itu, dalam memenuhi tugas akhir pada mata kuliah Tarikh
al-Ulum al-Lughah, penulis dalam tulisanmakalah
ini dimaksudakan untuk memotret disipilin tersebut sejak masa kelahiran,
pertumbuhan dan perkembangannya dan upaya-upaya pembaharuannya. Sudah barang
tentu, makalah yang bersifat deskriptif-historis ini masih jauh dari yang kami
sendiri harapkan.
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Nahwu dan Sejarah
Kemunculannya
Secara bahasa nahwu memiliki arti seperti atau
misalnya (Kamus Al Munawwir). Adapun secara istilah, sebagaimana yang dikatakan
pengarang kitab al-Fawakih al-Janiyyah, sebuah kitab penjelasan dari kitab
Mutammimah (yang merupakan penjelasan dari kitab Jurmiyyah): Nahwu adalah ilmu tentang
pokok, yang bisa diketahui dengannya tentang harkat (baris) akhir dari suatu
kalimat baik secara i'rab atau mabni[1].
Dan
istilah lain yaitu :
علم بأصول تُعرف بها أحوال الكلمات العربية من حيث
الإعرابُ والبناء. أي من حيث ما يعرض لها في حال تركيبها.
(Artinya:
ilmu tentang
pokok-pokok yang denganya dapat diketahui hal ihwal kata-kata bahasa Arab dari
segi i’rab dan bina’nya, yaitu dari sisi apa yang dihadapinya dalam keadaan
kata-kata itu disusun)[2].
Di dalamnya kita mengetahui apa yang wajib
terjadi dari harakat akhir dari suatu kata, dari rafa’ atau nasab, atau jar
atau jazem, atau tetap saja pada suatu keadaan setelah kata tersebut tersusun
di dalam satu kalimat.
Dalam
mengetahui ilmu nahwu adalah satu kepastian bagi setiap orang yang ingin betul
dalam menulis, berpidato dan mempelajari sejarah kesusasteraan.
Nahwu pertama kali digagas oleh Imam
Ali bin Abi Thalib untuk memudahkan bagi orang Arab maupun non Arab untuk
belajar bahasa Arab. Kemudian gagasan ini dikembangkan oleh Abul Aswad ad
Duwali (w. 69 H). selanjutnya dimulai penyusunan pokok-pokok nahwu yang
dipelopori oleh Abd al Rohman bin Harmez dan Nasr bin Hasyim. Keduanya murid
dari Abu al Aswad ad Duwali.
Pada abad ke- 2 Hijriyah nahwu dikembangkan
oleh Al Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w.175 H) dengan mematangkan
teori nahwu yang disusun Sibawaih (w.180 H) yang nota bene
sebagai murid Al Khalil sendiri. Langkah tersebut diikuti oleh Al-Akhfash
al-Ausath (w.211 H) dan Al- Mubarrid ( w. 286 H) dan ulama-ulama lain yang berkembang
di negara Bashrah yang digolongkan menjadi al-Nuhat al-Bashariyun. Kemudian
lahirlah kitab-kitab nahwu sebagai karya-karya monumental seperti Alfiyah Ibnu
Malik, Alfiyah Al Suyuthi dan Alfiyah Ibnu Mu’thi.
Nahwu juga mengalami perkembangan dan
kejayaan di daerah Kufah diantara ulama-ulama yang mengembangkannya adalah
Al-Kisai ( w.189 H), Al-Farra’ (w.208 H) Tsa’lab (w. 291 H) dll yang
selanjutnya dikenal sebgai al –nuhat al-Kufiyun.
Pasca perkembangan di
Bashrah dan Kuffah sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Madaris al-Nahwiyah
nahwu mengalami kemajuan di Bagdad, Andalus dan Mesir. Pereode ini nahwu sudah
mengalami efesiensi dan reformulasi seperti yang disusun oleh Ibn Jinny ( w.
392 H) di Bagdad, Ibn Madha Al-Qurtuby ( w. 592 H) di Andalus, Al-Sayuthi
(911 H) di Mesir.[3]
B. Upaya Pembaharuan Ilmu Nahwu
Banyak buku baik pada masa abad pertengahan maupun saat
ini yang sengaja ditulis sebagai kritik atau paling tidak untuk menunjukkan
rasa prihatin atas terlalu luasnya pembicaraan tentang “Ilmu Nahwu”, betapa
cabang pengetahuan ini telah menjadi pengetahuan yang tidak saja berbicara pada
tataran teoretis yang simpel dalam kerangka memenuhi tuntutan pembelajaran
bahasa Arab atau memahami teks-teks berbahasa Arab, tetapi telah melibatkan
teori-teori yang bersifat logik-spekulatif.
Ada banyak ragam buku yang ditulis para ulama’ dari mulai
buku yang bersifat “ikhtishar” (intisari) sampai yang berbau kritik pedas.
Termasuk dalam kategori buku klasik yang bersifat intisari ini antara lain “Mukhtashar
Mûjaz fi al-Nahwi”, karya Ibnu Kaisan (w.299 H), juga dengan judul hampir
serupa buku-buku yang ditulis oleh para ahli nahwu yang hidup semasa dengan
Ibnu Kaisan seperti Ibnu Syuqair dan Nafthawaih (w. 323 H).[4]
Tetapi dari berbagai kitab mukhtashar tersebut yang paling mendapat respon luas
adalah buku yang ditulis oleh al-Zujâji (w.337 H) berjudul “al-Jumal fi
al-Nahwi” yang kemudian dijadikan buku standar pengajaran bagi para pemula
pelajar bahasa Arab di berbagai wilayah Arab seperti Syam, Yaman, Mesir,
Magribi dan Andalusia.
Kemudian
beberapa abad kemudian seorang ahli nahwu dari Magribi bernama Ibnu Ajurum
(w.723 H) menulis mukhtashar yang sangat terkenal yang ia beri judul “al-Muqaddimah
al-Ajurumiyyah fi Mabâdi’ ‘ilm al-‘Arabiyyah”. Buku yang tebalnya hanya
kurang dari duapuluh halaman ini mendapat sambutan sangat luas melebihi
buku-buku lain serupa. Buku tersebut tidak saja menjadi buku ajar ilmu nahwu di
negeri-negeri Arab, tetapi juga digunakan pula di negeri-negeri luar Arab.
Di
Indonesia sendiri, terutama di pondok-pondok pesantren salaf (tradisional)
hingga hari ini banyak yang masih menggunakan kitab tersebut sebagai buku wajib
dalam pengajaran bidang nahwu. Sedangkan buku yang ditulis dengan maksud
sebagai kritik dan penolakan atas berbagai prinsip nahwu, terutama konsep “Amil”
diantranya adalah buku nahwu yang berjudul “Kitâb al-Radd ‘Ala al-Nuhât” karya
Ibnu Madha’ al-Qurthubi (w. 592 H), representasi karya klasik, dan buku “Ihyâ’
al-Nahwi”, karya Ibrahim Musthafa yang terbit pertamakali pada tahun 1937,
representasi kontemporer. Jika diperhatikan isi dari buku-buku di atas,
sebenarnya dapat disimpulkan bahwa sebenarnya merupakan upaya penyederhanaan ,
pengefektifan dan penataan ulang bab-bab dalam ilmu nahwu agar menjadi
sistematis, di samping juga memang ada beberapa buku yang secara terus terang
menolak beberapa teori nahwu yang dianggap tidak signifikan seperti karya Ibnu
Madha’ dan Ibrahim Musthafa di atas. Untuk memperoleh gambaran yang lebih
jelas, beberapa contoh pembaharuan nahwu ini dapat dijelaskan sebagai berikut,
tentu tidak akan mengupas seluruh buku-buku yang ada tetapi hanya akan dibatasi
pada dua buah buku saja yaitu karya Ibnu Madha, dan Ibrahim Musthafa karena
kedua buku tersebut dianggap cukup representatif baik dari segi priodenya
(klasik dan modern) juga cakupanya.
C. Tokoh-Tokoh dan Pemikirannya
1. Ibnu
Madha’ (Tokoh Klasik)
Nama lengkap Ibnu Madha’ adalah Ahmad bin Abdurrahman bin
Muhammad bin Saad bin Harits bin Ashim Ibnu Madha’ al-Lakhmi.[5]
Ia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Madha’, di samping sebutan Abu al-Abbas,
Abu Ja’far dan atau Abu Qasim.[6]
Ibnu Madha’ tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga terhormat dan mampu.
Ia dilahirkan di Cordova, tepatnya pada tahun 513 H,[7]
dan meninggal dunia di Seville pada 17 Jumadil Ula 592 H. Tetapi, dalam riwayat
lain disebutkan meninggal pada 12 Jumadil Akhir.[8]
Karya dan Pemikiran Ibnu madha’
Dalam literatur-literatur sejarah disebutkan, bahwa Ibnu
Madha’ memiliki beberapa buku. Yang paling terkenal adalah buku ar-Radd ala
an-Nuhat wa al-Masyriq fi an-Nahwi, Tanzih al-Qur’an amma la Yaliqu bi
al-Bayan dan al-Masyriq fi al-manthiq.
Buku pertama berisi tentang pilar-pilar dasar yang
membangun ilmu nahwu atau yang lebih dikenal dengan uhsul an-nahwi,
termasuk juga mendiskusikan metode berpikir yang digunakan. Buku ini pertama
kali ditemukan dalam bentuk manuskrip di Perpustakaan Taimur nomor 375, yang
kemudian diedit oleh Dr. Syauqi Dhoif. Sekarang, karya Ibnu Madha’ yang satu
ini telah dipublikasikan dan dapat dibaca secara luas.[9]
Buku kedua tidak diketahui isinya secara pasti.
Bisa jadi, ia berisi tentang fiqh atau mengenai ilmu bahasa Arab. Hal ini
karena buku tersebut tidak sampai ke tangan generasi setelah Ibnu Madha’. Jika
melihat judul bukunya, penulis menduga buku tersebut berisi seputar pemahaman Ibnu
Madha’ mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang terkait istidlal dan istimbath
hukum-hukum. Ia dapat dipastikan, melalui buku ini, menepis model pemahaman dan
pemaknaan terhadap ayat yang semestinya tidak perlu atau bahkan tidak ada dalam
teks (nash) secara lahiriyah. Hal ini karena Ibnu Madha’ menganut mazhab
Zhahiriyah yang hanya mengakui makna luar teks.
Sementara itu, buku ketiga diduga oleh para
ilmuwan muslim, seperti Suyuthi dan Ibnu Farhun, sebagai kelanjutan buku al-Radd
ala al-Nuhat wa al-Masyriq fi al-Nahwi. Yaitu, berisi tentang bantahan Ibnu
Madha’ terhadap teori-teori para ahli nahwu di wilayah Islam wilayah Timur.
Buku ketiga ini -dalam beberapa literatur sejarah- juga disebut dengan al-Masyriq
fi Ishlah al-Manthiq. Buku ini tidak pernah sampai ke tangan kita
sebagaimana buku ketiga.[10]
Ibnu Madha’ adalah salah seorang ahli nahwu klasik yang
dengan keras melakukan kritik para ahli nahwu lain, khususnya atas berbagai
unsur atau prinsip nahwu yang dianggapnya tidak ada arelefansinya dengan tujuan
ilmu nahwu. Krititiknya itu ia tuangkan dalam karyanya yang cukup terkenal “Kitab
al-Radd ‘Alâ al-Nuhât”. Tujuan dari penulisan buku tersebut dengan jelas
dan tegas ia kemukakan sebagai berikut:”yang menjadi tujuan saya dalam kitab
ini adalah membuang ilmu nahwu hal (unsur) yang tidak diperlukan oleh ahli
nahwu, dan mengingatkan (menunjukkan) kesalahan yang mereka sepakati di
dalamnya”.[11]
Dalam pandangan Ibnu Madha, unsur-unsur yang tidak
signifikan atau bahkan tidak diperlukan samasekali dalam nahwu adalah “amil,
illat qiyas dan taqdir”. Namun
dari keempat unsur yang ditolak oleh Ibnu Madha’ itu, masalah unsur amil paling
banyak mendapat perhatian para ahli nahwu lain. Hal ini dapat dipahami karena
memang unsur amil adalah unsur yang paling dominan dari seluruh komponen atau
prinsip nahwu yang berkembang pada masa abad tengah tersebut.
Pada
kebanyakan buku nahwu dijelaskan bahwa setiap perubahan bunyi di akhir kata
baik rafa’, nashab, jar dan lainnya, ialah disebabkan adanya pengaruh dari amil
yang mendahuluinya, baik amil tersebut berupa amil lafdzi (terucapkan) maupun
maknawi (tak terucapkan) atau amil muqaddar (tersembunyi). Kalimat “جَاءَ مُحَمَّدٌ”,
misalnya, bunyi rafa’ di akhir kata Muhammad tersebut adalah karena adanya
pengaruh dari amil lafdzi, yaitu kata “جَاءَ”, atau kalimat “مُحَمَّدٌ
جَاءَ”, bunyi rafa’ di akhir
kata “مُحَمَّدٌ” itu adalah karena pengaruh amil, yaitu amil al-Ibtida, karena
statusnya menjadi mubtada’. Dalam pandangan Ibnu Madha’ konsep tersebut adalah
keliru, menurutnya yang menentukan perubahan harakat atau bunyi di akhir kata
bukanlah amil, tetapi si pembicara itu sendiri, bukan karena adanya amil.
Baginya, tidak ada hubungan pengaruh mempengaruhi atau hubungan apapun antara
satu kata dengan kata yang lain dalam bahasa.
Dengan
demikian, Ibnu Madha’ telah melakukan satu revolusi besar dalam nahwu dengan
menggugat konsep amil yang begitu dominan dalam nahwu baik berbagai macamnya,
syarat-syaratnya, segi penempatannya, disebut atau tidaknya amil dan seterusnya
yang menurutnya sama sekali tidak berguna. Disamping masalah amil, Ibnu madha’
juga mengkritik konsep ahli nahwu seputar “al-Dhama’ir al-Mustatarah”
(kata ganti yang tersembunyi). Ibnu Madha’ memulainya dengan “isim fa’il”
seperti dalam kalimat “زيد ضارب عمراً”, menurut kebanyakan ahli nahwu kata “ضارب” di
dalamnya terkandung sebuah dhamir yang tersimpan, begitu pula dalam kasus
kalimat “زيد قام”, di dalam kata “قام” tersimpan dhamir yang kembali pada kata “زيد”. Dalam
pandangan Ibnu madha’ konsep-konsep seperti itu tidak diperlukan sebab tanpa
penjelasan-penjelasan seperti itu sebuah kalimat sudah dapat dipahami maknanya.
Demikianlah
intisari dari upaya pembaharuan ilmu nahwu secara garis besar yang ditawarkan
oleh Ibnu Madaha’al-Qurthubi (dari Cordoba). Yang tentu saja masih ada beberapa
bagian yang belum tercover dalam tulisan ini, namun demikian apa yang termuat
dalam penjelasan di atas dianggap telah merepresentasikan upaya kritik dan
pembaharuan ilmu nahwu yang diinginkan oleh Ibnu Madha. Secara keseluruhan.
Bahkan pemikiran dan konsep tentang nahwu yang telah dikembangkan oleh Ibnu
madha’ tersebut merupakan awal dari pembaharuan tentang ilmu nahwu yang
dikembangkan oleh para tokoh-tokoh kontemporer selanjutnya.
2. Ibrahim
Musthafa.
Jika Ibnu Madha’ merupakan kritikus
nahwu abad tengah (klasik), maka Ibrahim Musthafa adalah representasi kritikus
dan pembaharu nahwu abad modern yang banyak mengilhami para ahli nahwu lain
mengikuti pandangan dan pola berpikirnya. Ibrahim adalah seorang dosen pada
fakultas Adab Universitas Fu’ad al-Awal (kini menjadi Universitas Kairo). Pada
tahun 1936 ia menyelesaikan karyanya dibidang nahwu yang ia beri judul “Ihyâ’
al-Nahwi” (revitalisasi ilmu nahwu) dan setahun kemudian yaitu pada abulan Juli
1937 diterbitkan oleh lajnat al-ta’lif wa al-tarjamah wa al-nasyr Kairo.
Karya
dan pemikiran Ibrahim Musthafa
Jika Ibnu Madha’ merupakan kritikus
nahwu abad tengah (klasik), maka Ibrahim Musthafa adalah representasi kritikus
dan pembaharu nahwu abad modern yang banyak mengilhami para ahli nahwu lain
mengikuti pandangan dan pola berpikirnya. Ibrahim adalah seorang dosen pada
fakultas Adab Universitas Fu’ad al-Awal (kini menjadi Universitas Kairo). Pada
tahun 1936 ia menyelesaikan karyanya dibidang nahwu yang ia beri judul “Ihyâ’
al-Nahwi” (revitalisasi ilmu nahwu) dan setahun kemudian yaitu pada abulan Juli
1937 diterbitkan oleh lajnat al-ta’lif wa al-tarjamah wa al-nasyr Kairo.
Salah satu karya literaturnya adalah
“Ihya’ al-nahwu”. Dalam karyanya tersebut ditulis dengan maksud sebagai
kritik dan penolakan atas berbagai prinsip nahwu. Ide pembaharuan Ibrahim
Musthafa terhadap nahwu mencakup banyak aspek, diantaranya yang terpenting
adalah:
·
Redefinisi Nahwu.
·
Penolakan terhadap amil.
·
Pembagian ulang masalah i’rab.
·
Tanda-tanda i’rab
yang bersifat far’iyah.
3.
Syauqi Dhaif
Syauqi Dhoif
lahir di Aulad Hamam, Mesir pada 13 Januari 1910, dan wafat pada 14 Maret 2005,
pada usia 95 tahun.[12]
Dr. Syauqi Dhaif mengawali upayanya dalam pembaharuan nahwu dengan pen-tahqiq-annya
terhadap buku karangan Ibnu Madha yaitu ar-Radd ala an-Nuhat wa al-Masyriq
fi an-Nahwi, yang telah memberi warna baru dalam khazanah ilmu nahwu.
Beliau merekonstruksi kembali pemikiran nahwu yang telah berkembang selama ini
yang dianggap menyulitkan pengajaran nahwu dengan perinsip mudah, gampang,
ringkas, sederhana, dan mudah dipahami oleh para pelajar bahasa Arab.
Karya dan Pemikiran Syauqi Dhoif
Beliau menuangkan pemikirannya tersebut
dalam beberapa bukunya yaitu Tajdid al-Nahwi (1982), Taisiraat
Lughawiyah (1990), dan Taisiru al-Nahwi al-Ta’limi Qadiman wa Haditsan
ma’a Nahji Tajdidihi (1986). Diantara ketiga buku ini, yang paling
masyhur dalam khazanah ilmu nahwu adalah yang pertama yaitu Tajdid al-Nahwi,
yang menyajikan konsep-konsep yang sempurna dalam pengajaran nahwu, dan
juga memberi warna-warna baru yang disandarkan atas perinsip-perinsip dasar
yang bersumber dari buku Ibnu Madha.
Pemikiran Syauqi Dhaif dalam
pembaharuan nahwu kurang lebih sama dengan konsep-konsep yang digagas oleh Ibnu
Madha, hal ini dibuktikan dengan upaya beliau terhadap pen-tahqiq-an
buku al-Radd ala al-Nuhat karangan Ibnu Madha. Beliau juga sependapat
tentang pembuangan teori ’amil, membuang ’ilat tsawani dan tsawalits,
pembatalan teori qiyas, dan juga meniadakan analisa teori-teori
tanpa praktik, seperti i’lal.[13]
Hanya saja dalam tahqiq-annya beliau menambahkan pendapat-pendapat yang
mengokohkan teori-teori yang ada dalam buku tersebut.
Dalam pen-tahqiq-annya beliau
merumuskan bahwa dalam upaya pembaharuan nahwu terdapat enam pokok konsep yang
ditawarkan, yang meliputi:
·
Penyusunan kembali
bab-bab dalam nahwu yang tumpang tindih, menambahkan, dan mengumpulkan bab-bab
yang dianggap sejenis. Seperti contoh Bab كان واخوتها hendaknya
dimasukkan pada bab fi’il lazim. Teori merofa’kan isim dan
menasobkan khobar diubah dengan isimnya menjadi failnya
dan khobarnya menjadi hal saja.
·
Menghapus dua
peng-i’rab-an, yaitu taqdiri dan mahalli. Seperti contoh
dari I;rab taqdiri adalah جأء الفتى dibaca
rofa’ tanpa harus menyebutkan rofa’ muqoddar yang aslinya dzommah
·
Menghapus i’rab
yang tidak efisien untuk kebenaran dalam pengucapan. I’rab yang danggap
tidak efisien tersebut adalah bab ististna’, bab adawat syarat,
kam istifhamiyah dan khabariyah, kata لاسيما danان yang
disukun.
·
Meletakkan
pengertian-pengertian dan kaidah-kaidah yang lebih spesifik pada sebagian
bab-bab nahwu. Secara garis besar Syauqi Dzaif berpendapat ada tiga definisi
topik pembahsan materi nahwu yang perlu diperbaharui, yaitu bab Maf’ul
Mutlaq, Maf’ul ma’ah, dan bab hal.
·
Membuang
penambahan-penambahan dalam bab nahwu yang tidak penting. Seperti pembuangan
kaidah-kaidah isim alat, karena isim alat bersandar pada sima’i,
dan tidak membuthkan kaidah.
·
Penambahan
topik yang dianggap signifikan. Seperti penambahan pembahasan khusus yang
disertai kaidah-kaidah pengucapan atau makhraj, kerena dapat menumbuhkan
kesadaran dalam menjaga al-Quran.
·
Beliau
berpendapat bahwa fi’il mudhori’ yang bersambung dengan nun taukid tidak
berbeda dengan fi’il mudhori’ yang di dahului oleh amil nashob dimana keduanya
sama-sama berkhir dengan harakat fathah. Seperti pada contoh kalimat لن أسافرَ dari أسافرَنَ .
Sebagaimana telah diketahui bahwa fi’il mudhori’yang bersambung dengan nun
taukid mabni fathah.
·
Jika fi’il
mudhori’ yang bersambung dengan nun taukid berharakat fathah karena nashob,
lalu bagaimana dengan contoh: لا تمدحَنَّ امرا حتى تجرّبه.
Lafadz تمدحَنَّ
dinashobkan
sedang lafadz tersebut didahukui oleh لا nahi yang
notabene adalah huruf jer. Apakah nashob dan jer bisa berkumpul dalam satu
keadaan yang sama?
Beliau
juga merekomendasikan untuk menyamakan fi’il mudhori’ yang bersambung dengan
nun niswah dalam I’rab jazem. Seperti pada contoh:
النساء يسافرْن , النساء لن يسافرْن , النساء لم يسافرْن
v Dr. dhoif juga menganggap
bahwa khobar dapat berupa marfu’, mansub dan majzum.
ü Ketika nashob seperti contoh: ضربي العبدَ مسيئاً
ü Ketika jer seperti contoh: وما ربُك بظلامٍ للعبيد
v Anggapan beliau pada isim إنّ dan
saudara-saudaranya sebagai mubtada’ yang didaca nashob dengan hujjah bahwa
mubtada’ bisa dibaca jer ketika didahului oleh رُبَّ dan
huruf jer yang berupa tambahan. Beliau berdalih: “jika mubtada’ bisa
dibaca jer, kenapa kita tidak mengatakan kalau mubtada’ bisa dibaca nashob?
v Pada contoh: رُبَّ قولٍِِ أنفد من صول dan وليلٍ كموج
البحر أرخى سدوله . lafadz قول dan ليل jelas
dibaca jer karena sebagai mudhof ilaih, tetapi lafadz tersebut berkedudukan
sebagai mubtada’. Sedang yang dimaksud oleh Dr. Syauqi Dhoif sebagai mubtada’
yang dibaca nashob seperti pada contoh: إن اللهَ عليم
خبير
v Beliau mengatakan “sesungguhnya
mudhaf ilaih itu menyerupai isim yang ikut pada isim yang lain walaupun wajib
dibaca jer. Seperti contoh ثلاثة أقلام.disini jelas bahwa lafadz أقلام mengikuti lafadz ثلاثة. Bisa juga kta katakan الأقلام الثلاثة sebagai susunan sifat atau badal.”
v Beliau merekomendasikan untuk
mengabaikan fa’il ataupun naibul fa’il ketika dalam bentuk dhomir mustatir.
seperti contoh: زيد قام , محمد سُئل. Menurut
hemat beliau, tidak perlu repot-repot mengi’rabi kedua contoh yang telah
disebut karena fa’il dan naibul fa’il dari keduanya “hanya” dhomir yang tidak
terlihat oleh mata.
v Rekomendasi beliau untuk mengabaikan
I’rab pada jumlah. Pada contoh: مررت برجل يزرع lafadz
يزرع dii’rabi jer karena sebagai sifat dari
lafadz رجل yang nakiroh. Tetapi pada contoh: مررت بالرجل يزرع lafadz
يزرع dalam keadaan nashob karena sebagai hal.
Sebagaimana perkataan para ahli nahwu bahwa “setiap jumlah yang jatuh setelah
isim nakiroh berupa sifat, tetapi jika setelah ma’rifat maka jumlah tersebut
berkedudukan sebagai hal.
v Beliau menganjurkan untuk mendalami
penjelasan tentang kedudukan isim mabni, isim manqus, dan isim maqsur. Beliau
berpendapat bahwa isim-isim ini perlu pejelasan lebih detail tentang
kedudukannya pada kalimat, yang mana pada setiap I’rab yang ditempati,
isim-isim ini tetap sama seperti sediakala.
v Pada contoh: حضر سيبويهِ , رأيت سيبويهِ dan مررت
بسيبويهِ. Lafadz سيبويهِ adalah isim mabni. Dalam setiap I’rab yang
ditempati, lafadz سيبويهِ tidak mengalami
perubahan dalam segi lafadznya. Oleh karena itu Dr. Syauqi Dhoif
mengaggap perlu untuk menjelaskan secara lebih rinci kedudukan satu lafadz yang
berupa isim mabni, isim maqsur, dan isim manqus dalam jumlah.
4. Imam as-Suyuthi
Imam as- Suyuthi lahir di Kairo
setelah Maghrib malam Ahad 1 Rajab 849 H/ 3 Oktober 1449 M.[14]
sedangkan nama lengkap dan Nasabnya adalah Abdurrahman bin Abi bakar bin
Muhammad bin Sabiqudin bin Al-Fakhir Ustman bin Nashiruddin Muhammad bin
Asy-Syaikh Hammamudin Al-Hamman Al-Khadhari As-Suyuthi. As-suyuthi berasal dari
lingkungan cendikiawan sejak kecilnya. Ayahnya berusaha mengarahkannya kearah kelurusan
dan keshalihan, Suyuthi kecil telah mampu menghafal al-quran di usia yang
sangat dini, dan selalu diajak ayahnya diberbagai majlis ilmu dan berbagai
majlis qadhinya, hingga menjadikannya sebagai seorang Ulama besar dan Penulis
yang produktif dalam berbagai disiplin ilmu. Dia hidup pada masa Dinasti Mamluk
pada abad ke – 15, berasal dari keluarga keturunan Persia yang semula bermukim
di Baghdad, kemudian pindah ke Asyuth.
Karya
dan Pemikiran Imam as-Suyuthi
Dalam bidang bahasa Arab; al-Suyuthi juga menulis
beberapa buku, di antataranya: al-muzhir fi ‘Ulum al-Lughah dan al-Iqtirah
fi ‘Ilm Ushul al-Nahw wa jidali, Al-Asybah wa Nadzair fi al-Nahwi,(kitab
Nahwu ini menggunakan metode Fikih ) al-Akhbar al-Marwiyah fi Sabab Wadl’al-
Arabiyyah,(dalam kitab ini mengumpulkan hadis-hadis khusus tentang
permulaan ilmu Nahwu ) al-bahjah al-mardhiyah( komentar terhadap kitab
al-Fiyah ibnu).
Kontribusi dalam bidang ilmu bahasa cukup repsentatif
dalam mengembangkan wacana dalam konteks bahasa dan kesustraan yang sangat
signifikan. Setiap kontribusinya dalam ranah bahasa,karena Imam as-Suyuthi
memahami betul tentang pentingnya pemahaman nash atau teks dari aspek kajian
kebahasaannya, agar tidak keliru dalam memahami ajaran islam itu sendiri,
sehingga dia menjadikan ilmu bahasa itu sangat di perhitungkan keberadaannya,
demi membentuk pemahaman kalam Allah yang utuh jauh dari kerancuan. Oleh karena
itu, Imam as-Suyuthi terpanggil untuk melahirkan berbagai karya kebahasaan,
khususnya dalam bidang tata bahasa Arab, sebagaimana penulis telah paparkan
berbagai karya emasnya di atas.
BAB
III
Kesimpulan
Nahwu pertama kali digagas oleh Imam
Ali bin Abi Thalib untuk memudahkan bagi orang Arab maupun non Arab untuk
belajar bahasa Arab. Kemudian gagasan ini dikembangkan oleh Abul Aswad ad
Duwali (w. 69 H). selanjutnya dimulai penyusunan pokok-pokok nahwu yang
dipelopori oleh Abd al Rohman bin Harmez dan Nasr bin Hasyim. Keduanya murid
dari Abu al Aswad ad Duwali.
Kemudian beberapa abad kemudian seorang ahli nahwu dari
Magribi bernama Ibnu Ajurum (w.723 H) menulis mukhtashar yang sangat terkenal
yang ia beri judul “al-Muqaddimah al-Ajurumiyyah fi Mabâdi’ ‘ilm
al-‘Arabiyyah”. Buku
yang tebalnya hanya kurang dari duapuluh halaman ini mendapat sambutan sangat
luas melebihi buku-buku lain serupa. Buku tersebut tidak saja menjadi buku ajar
ilmu nahwu di negeri-negeri Arab, tetapi juga digunakan pula di negeri-negeri
luar Arab.
Di Indonesia sendiri, terutama di pondok-pondok
pesantren salaf (tradisional) hingga hari ini banyak yang masih menggunakan
kitab tersebut sebagai buku wajib dalam pengajaran bidang nahwu. Sedangkan buku
yang ditulis dengan maksud sebagai kritik dan penolakan atas berbagai prinsip
nahwu, terutama konsep “Amil” diantranya adalah buku nahwu yang berjudul
“Kitâb al-Radd ‘Ala al-Nuhât” karya Ibnu Madha’ al-Qurthubi (w. 592 H),
representasi karya klasik, dan buku “Ihyâ’ al-Nahwi”, karya Ibrahim
Musthafa yang terbit pertamakali pada tahun 1937, representasi kontemporer.
Jika diperhatikan isi dari buku-buku di atas, sebenarnya dapat disimpulkan
bahwa sebenarnya merupakan upaya penyederhanaan , pengefektifan dan penataan
ulang bab-bab dalam ilmu nahwu agar menjadi sistematis, di samping juga memang
ada beberapa buku yang secara terus terang menolak beberapa teori nahwu yang
dianggap tidak signifikan seperti karya Ibnu Madha’ dan Ibrahim Musthafa di
atas. Selain itu, beberapa tokoh lain yang mereformasi kembali ilm u nahwu
adalah Syauqi Dhoif dan Imam As-Suyuthi.
DAFTAR
PUSTAKA
Musthafa al-Ghulayayni,
Jami’ ad-Durus al-‘Arabiyyah, (Kairo, Daar al-Hadits, 2005).
Ahmad Afify. Al Mandzumah Al Nahwiyah al- Mansubah li
Al Khalil bin Ahmad Al Farahidy. (Cairo: Al Daar Al Manshuriyah Al Baniyah,
2003),
Syauqi Dhaif, Taisîru
al-Nahwi al-Ta’lîmi Qadîman wa Hadîtsan Ma’a Nahji Tajdidihi, (Kairo: Dar
al-Ma’arif, 1986),
Al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, Bughyah al-Wu’at
fii Thabaqaat al-Lughawiyyin wa al-Nuhat, ditahqiq oleh Muhammad Abu
al-Fadhal Ibrahim. (Lebanon: Daar al-Fikr, 1989).
Lewis,
B., V.L. Menage, CH. Pellat dan J. Schacht (ed.), The Encyiclopedia of
Islam. (Leiden: EJ. Brill, 1986).
Ied, Muhammad, Ushul
al-Nahwy al-Arabi fii Nazhri al-Nuhaat wa Ra’yi Ibn Madha’ wa dhau’i Ilm
al-Lughah al-Hadits, (Kairo: Alam al-Kutub, 1989).
Ibnu Madha’, Kitab al-Radd Ala al-Nuhat, tahqiqi
Syauqi Dhaif, (Kairo: Dar al-Fikr, 1947).
‘Ala’ Isma’il al-Hamzawi, Mauqif
Syauqi Dhaif min al-Darsu al-Nahwi,
M.
Habib, As-suyuthi Dan Pemikirannya Di bidang Nahwu: (Jurnal Adabiyat,
Vol. 3, No. II,).
[1] Diambil dari http://www.arabic.web.id/2008/08/apa-itu-ilmu-nahwu-dan-sharaf.html pada tanggal 19 Juni 2012.
[2] Musthafa al-Ghulayayni, Jami’
ad-Durus al-‘Arabiyyah, (Kairo, Daar al-Hadits, 2005), h. 8.
[3] Ahmad Afify.
Al Mandzumah Al Nahwiyah al- Mansubah li Al Khalil bin Ahmad Al Farahidy.
(Cairo: Al Daar Al Manshuriyah Al Baniyah, 2003), hal. 11.
[4]. Syauqi Dhaif, Taisîru
al-Nahwi al-Ta’lîmi Qadîman wa Hadîtsan Ma’a Nahji Tajdidihi, (Kairo: Dar
al-Ma’arif, 1986), hal. 14.
[5] Al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, Bughyah al-Wu’at fii Thabaqaat al-Lughawiyyin wa
al-Nuhat, ditahqiq oleh Muhammad Abu al-Fadhal Ibrahim. (Lebanon:
Daar al-Fikr, 1989). Hal. 3230.
[6] Lewis, B., V.L. Menage,
CH. Pellat dan J. Schacht (ed.), The Encyiclopedia of Islam. (Leiden:
EJ. Brill, 1986). Hal. 855.
[7] Ied, Muhammad, Ushul
al-Nahwy al-Arabi fii Nazhri al-Nuhaat wa Ra’yi Ibn Madha’ wa dhau’i Ilm
al-Lughah al-Hadits, (Kairo: Alam al-Kutub, 1989). Hal. 38.
[8] Al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, Bughyah al-Wu’at fii Thabaqaat al-Lughawiyyin wa
al-Nuhat, ditahqiq oleh Muhammad Abu al-Fadhal Ibrahim. (Lebanon:
Daar al-Fikr, 1989). Hal. 233.
[9] Ied, Muhammad, Ushul al-Nahwy al-Arabi fii Nazhri al-Nuhaat wa Ra’yi Ibn Madha’ wa dhau’i Ilm al-Lughah
al-Hadits, (Kairo: Alam al-Kutub, 1989), hal. 39.
[10] Ied, Muhammad, Ushul al-Nahwy al-Arabi fii Nazhri al-Nuhaat wa Ra’yi Ibn
Madha’ wa dhau’i Ilm al-Lughah al-Hadits, (Kairo: Alam al-Kutub,
1989), hal. 40-41.
[14] M. Habib, As-suyuthi Dan Pemikirannya Di bidang
Nahwu: (Jurnal Adabiyat, Vol. 3, No. II,). Juli 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar