PELESTARIAN BAHASA ARAB
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas UAS Fiqih Lughah II
Dosen Pembimbing : D. Hidayat MA. Dan Zainal Muttaqin .
Disusun oleh :
Ade Wahyu
(108012000036)
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2011 - 2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur bagi Allah swt. Tuhan pencipta alam
semesta, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita nabi
Muhammad saw. Kepada keluarganya dan sahabat-sahabatnya yang setia. Berkat taufiq
dan hidayah-Nya, makalah ini dapat diselesaikan. Sehingga diharapkan makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Makalah ini disusun dengan judul “PELESTARIAN BAHASA
ARAB”. Pemakalah menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna. Kritik dan
saran yang membangun, pemakalah terima dengan senang hati, demi perbaikan dan
kesempurnaan makalah ini.
Harapan yang tulus ikhlas berupa persembahan do’a
kepada Allah swt. Kiranya makalah ini dapat membawa manfaat khususnya bagi
penulis dan para pembaca pada umumnya.
Ciputat, Maret 2012
penyusun
PENDAHULUAN
Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan sekelompok masyarakat
untuk menyampaikan maksud dan tujuan
tertentu. Agar tercapai maksud dan tujuan yang diinginkan, maka bahasa
tersebut harus sesuai dengan gramatika dan kosakata yang dapat dipahami oleh
pendengar. Karena setiap bahasa mempunyai kosakata yang berbeda-beda. Meskipun
ada beberapa kata yang termasuk kosakata serapan antara bahasa yang serumpun.
Seperti yang telah kita ketahui, bahasa Arab merupakan salah satu
bahasa yang ada di dunia dan menjadi bahasa resmi di wilayah jazirah Arab
Pada masa awal Islam (masa Nabi, Khalafa’ rasyiddin dan awal Bani
Umayah) bahasa Arab sebagai ilmu belum muncul. Namun, bahasa Arab sebagai media
ekspresi bangasa Arab atau bahasa Arab sebagai praktik komunikasi dengan
strukturnya yang ada seperti sekarang sudah mentradisi. Pertanyaan yang sering
muncul adalah apakah bangsa Arab pada waktu baerbahasa Arab berdasarkan ilmu
(nahwu, sharaf, dan balaghah) ataukah berdasarkan logika natural (al-manthiq al-thabi’i)?
BAB I
PERKEMBANGAN KHAT ARAB
A. Pengertian Khat dan Awal Pertumbuhannya
Secara bahasa khat adalah tulisan tangan (khususnya
tulisan indah). Sedangkan kaligrafi adalah semi melukis indah dengan pena[1].
Terdapat
beberapa pendapat dalam mengatakan asal-usul khat. Antaranya ialah, pendapat
pertama menyatakan khat adalah anugerah daripada Allah S.W.T. kepada manusia.
Allah telah mengajar ilmu dan cara menulis kepada Adam a.s dan diwarisi turun
temurun sehingga kini. Ibnu Khaldun juga menyatakan bahawa tulisan jenis masnad
berasal daripada Yaman, kemudiannya berpindah kepada keluarga al-Munzir di
Heart. Tulisan ini lahir pada zaman kerajaan Saba’ di Himyar. Terdapat juga
pendapat yang menyatakan tulisan ini berasal dari Heart dan akhirnya ke Hijaz.
Selain itu juga, ada yang menyatakan khat berasal daripada finiqi yang diambil
daripada huruf Mesir purba. Akan tetapi, kebanyakan ahli sejarah bersetuju
dengan pendapat yang terakhir iaitu kkhat berasal berasal daripada tulisan
Nabati (Ramali). Ia sampai ke Hijaz melalui dua jalan iaitu jalan dekat dari
Nabati ke Batra ke Ula, ke Madinah dan Makkah serta jalan jauh iaitu melalui
Harran ke lembah Furat, ke Daumatul Jandal, ke Madinah, Makkah dan Taif.
Tulisan
khat dibawa melalui pedagang yang berniaga di Syam dan Iran, terutama Quraisy.
Ini bererti ketika Islam disebarkan, segelintir kecil orang Arab telah pandai
membaca dan menulis walaupun jumlah bilangan mereka adalah sredikit sekali.
Buktinya tawanan Perang Badar (musyrikin Makkah) dikehendaki mengajar anak umat
Islam membaca dan menulis seramai 10 orang sebelum dibebaskan. Tulisan Arab ini
akhirnya diperkenalkan ke seluruh dunia Islam. Mana-mana negara yang masih
tidak mempu sistem tulisan sendiri pada masa itu mengambil seratus-peratus
tulisan Arab menjadi tulisan mereka. Proses ini berlaku begitu cepat seiring
dengan perkembangan pembelajaran Al-Quran[2]
Khat Arab berasal dari kaligrafi Mesir (Kan'an, Semith,
atau Tursina). Lalu terpecah menjadi khat Feniqi (Funisia), yang pecah pula
menjadi Arami dan Musnad dengan cabang-cabang (Arami): Nabati di Hirah/Huroh
dan Satranjili-Suryani di Irak; dan (Musnad): Safawi, Samudi, Lihyani (Utara
Jazira Arabia), dan Humeiri, selatannya.
Hal tersebut didasarkan atas bukti-bukti nyata arkeologi
(dinas purbakala) yang pernah mengadakan penelitian intensif tentang
pertumbuhan tulisan Arab yang berasosiasi erat pada ilmu perbandingan bahasa.
Perkembangan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut[3]:
1. Khat Mesir Kuno
adalah sumber kelahiran khat feniqi.
2. Khat feniqi
terpecah menjadi 2 (dua): Arami dan Musnad.
3. Khat Arami
melahirkan khat-khat: Nabati di Hirah dan Satranjili Suryani di Irak.
4. Khat Musnad
melhirkan khat-khat: Safawi, Samudi, dan Lihyani di Arabia Utara, dan Humeiri
di Selatannya.
5. Khat Nabati
dipandang sebagai biang melahirkan khat Kufi yang sebelum Islam bernama Hieri
(diambil dari kata Hirah, kota kelahirannya) dan sering juga disebut Jazm.
B. Huruf Hijaiyah
Alfabet Arab disebut huruf al hija (iyah) dan huruf al
tahajji. Diindonesiakan menjadi "huruf ejaan". Ahli gramatika Arab,
Sibawaih dan Al Khalil menamakannya huruf al 'Arabiyah atau huruf al lughah al
'Arabiyah, maksudnya: huruf bahasa Arab, yang dengannyalah tersusun bahasa
Arab. Sering juga disebut huruf al mu'jam (huruf yang bertanda-baca) atau
bertitik, entah dalam bentuk terpisah-pisah yang belum dapat difahami sehingga
menjadi sebuah rangkaian kata, ataupun karena beberapa bagian daripadanya atau
seluruhnya dibubuhi tanda baca[4].
Abjad, Alfabet, atau huruf Hijaiyah berjumlah 28 (dua
puluh delapan) huruf – tunggal, atau berjumlah 30 (tiga puluh) dengan
memasukkan huruf rangkap Lam-Alif dan Hamzah (sebagai huruf yang menerima
sandang/harakat). Cara menulis huruf Arab mendatar dan dimulai dari arah kanan
ke kiri[5].
C. Sejarah Tanda Baca, Menciptakan Syakal dan Harakat
Selain
itu para peneliti berbeda pendapat tentang tempat asal usul dan metode
sampainya khat Arabi kepada orang Arab, sehingga pada akhirnya orang Arab
melakukan perubahan pada khat mereka, diantaranya[6]
:
1.
Syakal atau
tanda I’rab
Hal yang
pertama kali dilakukan orang arab dalam perubahan khat Arabi adalah dengan
meletakan tanda syakal yang bentuk dan warnanya berbeda dengan hurufnya karena
pengertian dari tanda I’rab adalah berubahnya akhir-akhir kalimat karena
perbedaan amil-amil yang masuk atasnya baik secara lafadz atau taqdir.[7]
Pemberian syakal atau tanda I’rab ini bertujuan untuk membantu terhadap bacaan
dan pemahaman.[8]
Namun pada perkembangannya abad VII M/I H, awal daulah Umayyah ada
seorang bernama Ziyad bin Abi Sufyan, meminta kepada seorang ahli bahasa Arab
Abul Aswad Al-Dualy (W. 69 H) untuk menciptakan tan tanda-tanda baca (syakal
dan harakat) untuk mempermudah membaca Al-qur’an. Tanda baca (syakal) pada
waktu itu yang diciptakan berupa “titik-titik”.
a.
Titik satu
disebelah kiri huruf, berarti dhammah (u).
b.
Titik satu
tepat di atas huruf, berarti fathah (a).
c.
Titik satu
tepat di bawah huruf, berarti kasrah (i).
d.
Bila titik
digandakan (dua titik) maka fungsinya menjadi tanwin (an,in,un).
Titik-titik
yang menandai bacaan ditulis dengan tinta yang berbeda yang dipergunakan
menulis huruf dalam mushaf. Kalau tinta yang dipergunakan menulis huruf tinta
hitam, maka titik-titik tanda bacanya dibuat dengan tinta warna merah. Dalam
hal ini ada yang berpendapat bahwa semua huruf dalam Al-qur’an diberi tanda
baca. Tetapi pendapat lain mengatakan bahwa yang diberi tanda hanyalah huruf
akhir kata atau huruf-huruf tertentu yang menimbulkan salah baca bila tidak
diberi tanda.[9]
Tanda baca dalam tulisan Arab terdiri dari titik yang
disebut naqt atau i'jam; dan barus yang disebut harakat atau syakal.
Abul Aswad berhasil
mewariskan sistem penempatan "titik-titik" tinta berwarna merah yang
berfungsi sebagai syakal-syakal yang menunjukan pada unsur-unsur kata Arab yang
tidak terwakili oleh huruf-huruf. Penempatan titik-titik tersebut adalah
sebagai berikut[10]:
a. Tanda Fathah dengan satu titik di atas huruf (a).
b. Tanda kasrah dengan satu
titik di bawah huruf (i).
c. Tanda dhammah dengan satu
titik di sebelah kiri huruf (u).
d. Tanda tanwin dengan dua
(double) titik (an-in-un).
Titik-titik yang menandai bacaan itu ditulis dengan tinta
yang berbeda dengan tinta yang dipergunakan menulis huruf dalam Mushaf. Kalau
tinta yang dipergunakan menulis huruf tinta hitam, maka titik-titik tanda
bacanya dibuat dengan tinta merah. Dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa
semua huruf dalam Al Qur'an diberi tanda baca. Tetapi pendapat lain mengatakan
bahwa yang diberi tanda hanyalah huruf akhir kata atau huruf-huruf tertentu
yang dapat menimbulkan salah baca bila tidak diberi tanda[11].
Al Khalil memebuat dasar
tanda-tanda dalam tulisan Arab yang menjadi dasar tulisan Arab sampai sekarang.
Untuk lebih jelas dan lengkapnya penyempurnaan tanda-tanda dalam tulisan Arab
dapat diuraikan sebagai berikut[12]:
·
Huruf Alif kecil dan ditulis miring di atas huruf sebagai tanda
"Fathah" yang berbunyi "a". Sekarang menjadi garis miring
pendek di atas huruf.
·
Huruf Ya kecil diletakkan di bawah huruf sebagai tanda
"kasrah" yang berbunyi "i". Seakrang menjadi garis miring
pendek (seperti fathah) di bawah huruf.
·
Huruf Wawu kecil diletakkan di atas huruf sebagai tanda
"dhammah" yang berbunyi "u". Sekarang hanya diambil kepala
wawunya saja yang bulat kemudian bagian selanjutnya berupa garis-garis pendek.
·
Kepala huruf Kha dan ditulis di atas huruf sebagai tanda
mati atau pepet (sukun, berhenti). Huruf Kha berasal dari kata
"Khaffafa" yang berarti ringan (Takhfif). Sekarang kepala Kha itu
dibuat elastis sehingga tidak semata-mata berupa kepala huruf Kha serta tanpa
titik di atasnya.
·
Kepala huruf Syin (yang diambilkan Syin dari kata
"tasydied") digunakan sebagai tanda untuk huruf rangkap atau tanda
"Tasydied".
·
Kepala huruf 'Ain (yang diambilkan huruf terakhir dari
kata "qatha", "A" ditulis dan dikecilkan, diletakkan di
atas atau di bawah Alif sebagai tanda Hamzah. Sehingga Alif yang mendapat tanda
ini (di depan kata) disebut "Hamzah Qatha".
·
Penggunaan huruf hidup. Alif, Wawu, dan Ya berfungsi
sebagai Huruf Mad (dibaca panjang) atau huruf hidup (vowel). Ketiga huruf
tersebut berfungsi sebagai huruf hidup dengan ketentuan:
- Alif
berharakat Sukun (mati, pepet) dan jatuh setelah huruf yang berharakat fathah.
- Wawu
berharakat Sukun (mati, pepet) dan jatuh setelah huruf yang berharakat dhammah.
- Ya berharakat
Sukun (mati, pepet) dan jatuh setelah huruf yang berharakat Kasrah.
·
Ketiga huruf tersebut juga dapat berfungsi sebagai huruf
mati sehingga dapat diberi harakat atau sandang. Sehingga ketiga huruf tersebut
dapat berbunyi a, i, u, atau pepet.
·
Titik digunakan untuk memberi ciri khas pada huruf yang
bersamaan bentuk tetapi berbeda ejaannya. Seperti sekarang berlaku hingga kini.
2.
Pemberian tanda
baca titik
Fungsi
tanda baca titik yaitu untuk membedakan antara huruf-huruf yang sejenis (ب ت ث
ج Ø Ø® ... ( pemberian titik ini terkenal sebelum datangnya islam, karena
sebagian huruf memiliki banyak ragam bunyi. Ketika banyak klise (bunyi huruf
yang tidak sesuai) di Irak, Al-Hajjaj bin Yusuf
At-Saqafi meminta Abdul Malik bin Marwan dalam kitabnya agar meletakan
tanda atau ciri untuk membedakan huruf-huruf yang sejenis. Setelah berifikir
dan di pertimbangkan Ia menetapkan untuk meletakan tanda baca titik dengan
bentuk yang serupa dengan kata itu sendiri, karena titik huruf merupakan bagian
dari hurup itu sendiri.[13]
3.
Harakat
Harakat
(Arab: Øركات, harakaat) atau tasykil adalah
tanda baca atau diakritik yang ditempatkan pada huruf Arab untuk
memperjelas gerakan dan pengucapan huruf tersebut.
Harakat dipakai untuk mempermudah cara membaca
huruf Arab bagi orang awam, pemula atau pelajar dan biasanya dituliskan pada
buku-buku pendidikan, buku anak-anak, kitab suci al-Quran dan Injil berbahasa Arab, walaupun dalam penulisan
sehari-hari tidak menggunakan harakat, karena pada umumnya orang Arab
sudah paham dan mengerti akan tulisan yang mereka baca, namun kadang juga
digunakan sebagai penekanan dari suatu kata terutama pada kata-kata yang
kurang umum digunakan agar menghindari kesalahaan pembacaan.[14]
Penggunaan harokat ini mulai Nampak diikuti oleh orang-orang pada masa bani
Umayah, reformasi pertama (penetapan titik/I’rob).
4.
Tanda Waqaf
Waqaf
dari sudut bahasa ialah berhenti atau menahan, manakala dari sudut istilah
tajwid ialah menghentikan bacaan sejenak dengan memutuskan suara di akhir
perkataan untuk bernapas dengan niat ingin menyambungkan kembali bacaan. Awal
masuknya istilah tanda waqaf ini dalam tulisan Arab, tidak diketahui secara
pasti namun lebih jelasnya istilah waqaf ini memang sudah ada sejak masa
jayanya bangsa Arab.
BAB II
PENYUSUNAN KAIDAH
- Pengertian Kaidah dan Tujuannya
Qawa’id
merupakan bentuk jama’ dari qa’idah yang secara lughawi berarti: fondasi, dasr,
pangkalan, basis, model, pola dasar, formula, aturan, dan prinsip. Sedangkan
secara istilahi qawa’id adalah sejumlah aturan dasar dan pola bahasa yang
mengatur penggunaan suatu bahsa, baik lisan maupun tulisan. Dalam bahasa Arab,
qawa’id meliputi nahwu (sintaksis) dan sharaf (morfologi).
Nahwu
secara lughawi berarti: contoh, merupakan kaidah mengenai penyususnan kaliamat
dan penjelasan bunyi akhir (I’rob, infleksi) mengenai kata yang berada dalam
struktur kalimat serta hubungan satu kalimat denagn kalimat lainnya.[15]
Sedangkan Sharaf secara lughawi:
Perubahan. Dan menurut Istilah: mengubah asal bentuk kalimat yang satu kepada
model-model bentuk yang berbeda-beda, untuk menghasilkan makna-makna yang
diharapkan/yang dimaksud/ yang dituju, yang tidak akan berhasil melainkan
dengan cara itu (model-model bentuk tsb).[16]
Seperti halnya bahasa-bahasa yang lain, Bahasa Arab mempunyai
kaidah-kaidah tersendiri di dalam mengungkapkan atau menuliskan sesuatu hal,
baik berupa komunikasi atau informasi.[17]
Adapun
tujuan dasar ilmu nahwu pada mulanya itu mendefinisikan struktur yang
memudahkan kepada perubahan I’rob agar belajar dan mengajar bahsa Arab jadi
mudah, serta terjaga dari kekeliruan. Hingga pada perkembangannya tujuan utama
penyusunan ialah agar bahasa Arab yang fasih tetap terjaga sehingga Al-Qur’an
dan hadits Nabi juga terjaga dari kesalahan. Dan pemeluk agama islam yang berasal
dari kalangan bukan arab seperti kita-kita, dapat mempelajari Al-Qur'an dan
Hadist secara benar untuk dijadikan sumber hukum islam. Di sisi lain, ilmu
nahwu juga bisa dipakai sebagai sarana untuk mengungkap keajaiban bahasa
Al-Qur’an (اعجاز
القرآن)
B. Sejarah Penyusunan Kaidah Bahasa Arab
Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika
mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan
tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul, terbentuk dengan peraturan
yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, para
anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya. Namun ketika Islam datang
dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab
dengan orang non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan
Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya
menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab
menjadi hilang. Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah
yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan
dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat
untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu[18].
BAB III
PENYUSUNAN KAMUS
A. Pengertian dan Tujuan Penyusunan Kamus
Kamus secara bahasa berarti buku acuan yang memuat
kata dan ungkapan, biasanya disusun menurut abjad berikut ketertangan tentang
makna, pemakaian, atau terjemahnya[19]. Dengan demikian, eksistensi kamus
berfungsi sebagai penjelas, penafsir dan pemberi makna terhadap kata, istilah,
ungkapan atau frasa yang masih asing atau belum jelas[20].
Sesuai dengan arti mu'jam itu sendiri, dapatlah
dipahami bahwa tujuan awal penyusunan kamus adalah untuk memberi penjelasan dan
pemaknaan mengenai suatu kata atau istilah yang masih belum jelas. Sesuai
dengan arti kamus juga, dapat dipahami bahwa kamus disusun tidak lain adalah
agar para pembacanya dapat menyelami lebih dalam "lautan makna" suatu
kata, termasuk sinonim, antonim, dan isytiqaq (derivasi)-nya. Dengan menyelami
"lautan makna" yang ada dalam sebuah kamus, niscaya pembaca atau
penggunanya akan memperoleh penjelasan, pengetahuan kebahasaan dan pemahaman
yang lebih baik dan mendalam.
Dengan membuka kamus, misalnya saja Mu'jam al
Lughah al Arabiyah al Mu'tashirah karya Hans Wehr, pembaca dapat mengetahui
cara membaca setiap kosakata yang ada, berikut ragam makna dan penggunaannya
dalam bidang keilmuan tertentu[21].
B. Lintas Sejarah dan Perkembangan Kamus
Bahasa Arab
Sebuah bahasa, termasuk bahasa Arab, pada awalnya
bermula dari bahsa lisan (lughah al Nutq) yang digunakan para pemakai bahasa
untuk berkomunikasi dengan sesamanya, sebelum pada tahap selanjutnya, bahasa
itu dikodifikasi atau dibutuhkan dalam bentuk bahasa tulis (lughah kitabah)[22].
Selain alat komunikasi, bahasa
juga berfungsi sebagai alat berfikir atau media nalar bagi pemakai bahasa itu
sendiri. Perkembangan sebuah bahasa mengikuti perkembangan pemikiran para
pengguna bahasa. Sedang manusia, ia tidak akan mampu menghapal dan
mengembangkan seluruh kata dari bahasanya sekalipun ia memiliki tingkat
kecerdasan yang tinggi. Oleh sebab itu, terkadang seseorang tidak mampu
mengingat sebuah kata atau kesulitan untuk menyebutkan kosakata yang sesuai dengan
yang ia inginkan.
Problem itu menunjukkan urgensi
kamus sebagai bahan rujukan untuk mengembangkan makna, menghimpun kata,
melestarikan bahasa dan mewariskan peradaban yang bisa dikembangkan. Hal ini
yang mendasari manusia melirik pentingnya bahasa tulis untuk mengkodifikasi
bahasa mereka[23].
Kodifikasi dan sistematisasi kamus Arab menglami
tiga periode penting, diantaranya[24]:
- Periode pembukuan (pencatatan) kata-kata tanpa sistematika tertentu dan pada umumnya tanpa ada penjelasan kata. Pada periode ini, tepatnya pada akhir abad pertama hijriyah, dijumpai beberapa buku mengenai risalah al Qur'an, seperti Gharib al Qur'an karya Sa'id al Bakri (W. 141 H) dan Kitab al Nawadir karya beberapa orang seperti Abu Amr ibn al 'Ala' (W. 157 H), Yunus ibn Habib (W. 182), dan al Kasa'i (W. 198).
- Periode penyusunan kosakata secara sistematis dalam buku kecil (saku), mengenai tema tertentu dan disistematisasikan berdasarkan huruf tertentu pula. Di antara risalah (traktat) yang disusun pada periode ini adalah Kitab al Mathar wa Kitab al Laba' wa al Laban karya Abu Zaid al Anshari dan Kitab al Khail, Kitab al Syita, Kitab Khalq al Insan wa Kitab al Nakhl wa al karam, wa Kitab al Nabat wa al Syajar karya al Ashmu'i (122-216 H). Periode ini berlangsung pada awal dan pertengah abad kedua hijriyah. Periode ini juga ditandai munculnya berbagai karya al Ashmu'i, Ibn Sikkit (809-858 M), maupun Abu al Thayyib (W. 351). Kecenderungan lain dalam penyusunan kamus pada periode ini adalah adanya pembedaan, misalnya, antara fi'il dan isim, antara kata yang dibaca panjang dan pendek. Kamus mengenai hal ini, antara lain Kitab al Maqshur wa al Mahduud karya Abu Zakariya al Farra (144-207 H).
- Kodifikasi kamus atau ensiklopedi secara komprehensif. Dalam hal ini, kamus komprehensif pertama di dunia Islam adalah karya al Khalil tersebut. Mulai periode ini, banyak ulama yang kemudian mengikuti sistem penyusunan kamus ala al Khalil, seperti al Bari karya Abu Ali al Qali (288-356 H), meskipun ia sedikit melakukan perubahan pada urutan huruf dalam kamusnya.
C. Klasifikasi Kamus Bahasa Arab
Seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu
pengetahuan, kamus di dunia Arab mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini
dapat dibuktikan dari banyaknya kamus yang sudah diproduksi, mulai dari periode
al Khalil hingga sekarang ini.
Secara garis besar, ada dua model sistematika penyusunan
kamus-kamus bahasa Arab yang digunakan leksikolog, yaitu: 1) System makna
(kamus makna) dan 2) system lafal (kamus alfadz)
a.
Kamus makna
(kamus ma’ani)
System
makna (kamus ma’ani) adalah model penyususnan kosakata (item) di dalam kamus
yang digunakan seorang leksikolog dengan cara menata kata/atau entri kamus
secara berurutan secara berurutan berdasarkan makana atau kelompok kosakata
yang makananya sebidang (tematik). Dengan kata lain, pengelompokan entri pada
kamus-kamus ma’ani lebih mengedepankan aspek makna yang terkait dengan
topic/tema yang telah ditetapkan oleh leksikolog. Misalnya kata kurikulum,
materi ajar, buku, siswa, kuliah, semua entri tersebut kedalam tema/topic tarbiyah
(pendidikan)kata monitor, mouse, laptop, keyboard, dimasukan ke tema computer
(teknologi), dan sebagainya. Dengan sistematika ini, maka kamus ma’ani lebih
tepat disebut dengan kamus tematik.
Munculnya
kamus-kamus ini dilatarbelakangi teknik pencarian makna kosakata dengan metode
sima’i, yaitu para leksikolog langsung turun ke lapangan atau kepedalaman Arab
Badui untuk mendengar dialog dan bahasa mereka. Setelah itu mereka mencatat
apapun temuan mereka tanpa ,engenal sistematika pembukuan yang terorganisir.
Para leksilolog hanya mengkalisifikasikan kosakata berdasarkan teori al-huqul
al-dalaliah (semantic fielid). Teori bidang makna ini beupaya
mengklasifikasikan kumpulan makna atau kosakata yang masih include didalam
bidang/tema yang berdekatan maknanya.
Salah
satu contoh kamus ma’ani adalah kamus Al-Gharib Al-Mushannaf, karya Abu Ubaid
Al-Qasim bin Salam (150-244 H). kamus ini dinilai sebagai kamus pertama yang
menggunakan system ma’ani dimana semua kosakata (entri) telah di klasifikasikan
ke dalam bidang makna tertentu. Dalam menyusun kamus ini, Abu Ubaid memerlukan
waktu selama 40 tahun. Setiap bidang makna (tema) dinamkan ‘kitab’ sebagai
subjudul kamus.
b.
System Lafal
(kamus alfadz)
System
Lafal (Kamus Alfadz) adalah kamus yang kata-kata (item) di dalamnya tersusun
secara berurutan berdasarkan urutan lafal (indeks) dari kosakata yang
berhimpun, bukan melihat pada makna kata.
Dalam
sejarah perkembangan leksikon bahasa Arab, paling tidak terdapat lima model
sistematika (nidzam tartib) yang pernah digunakan para leksikolog Arab dalam
menyusunkamus-kamus lafal, yaitu: Nidzam Al-Shauty (system fonetik) Nidzam
Al-Alfaba’i Al-Khas (Sistem Alfabetis Khusus), Nidzam Al-Qafiyah (system
sajak), Nidzam Al-Alfaba’i Al-‘Aam (system alfabetis umum), dan Nidzam Al-Nutqi
(system artikulasi).[25]
[19] Depdiknas. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta
: Balai Pustaka, edisi ketiga, cet. Ke-3, hal. 499
[20] Muhbib Abdul Wahab. Op
Cit. 271
[21] Ibid, hal. 272
[24] Muhbib Abdul Wahab. Op. Cit, hal. 274
[15] Muhbib
Abdul Wahab, Epistimologi&Metologi Pembelajaran Bahasa Arab.(UIN
Jakarta:2008)h. 171
[17] https://kiflipaputungan.wordpress.com/2010/03/31/sejarah-perkembangan-ilmu-nahwu-i/
[18] Abdul Karim Husain. Op. Cit, hal.
[1] Depdiknas. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta
: Balai Pustaka, edisi ketiga, cet. Ke-3, hal. 494
[2] http://newpaces.com/forum/topic/468
[3] D. Sirojuddin. AR.
1987. Seni Kaligrafi Islam. Jakarta :
Pustaka Panjimas. Cet. Ke-2, hal. 20
[5] Abdul Karim Husain.
(Tanpa Tahun). Seni Kaligrafi Khat
Naskhi: Tuntutan Menulis Halus Dengan Metode Komparatif. Jakarta: CV
Pedoman Ilmu Jaya, cet. Ke-4, hal. 5
[6] D.
Hidayat dan Zainal Muttaqin, Fiqih Lughah II (UIN Jakarta: 2004) h. 47
[7] http://arabbahasa.blogspot.com/2011/04/bab-irab.html
[8] D.
Hidayat dan Zainal Muttaqin, Op Cit, h.47
[9] Husain,
Abdul Karim., (1985), Seni Kaligrafi Khat Naskhi, Pedoman Ilmu Karya,
Jakarta. h. 13.
[11] Abdul Karim Husain. Op. Cit, hal. 14
[12] Abdul Karim Husain. Op. Cit, hal. 16
[13] D.
Hidayat dan Zainal Muttaqin, Op Cit, h. 48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar