Minggu, 18 November 2012

pelestarian Bahasa Arab


PELESTARIAN BAHASA ARAB

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas UAS Fiqih Lughah II
Dosen Pembimbing : D. Hidayat MA. Dan Zainal Muttaqin .


Disusun oleh :
Ade Wahyu
(108012000036)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2011 - 2012


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur bagi Allah swt. Tuhan pencipta alam semesta, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad saw. Kepada keluarganya dan sahabat-sahabatnya yang setia. Berkat taufiq dan hidayah-Nya, makalah ini dapat diselesaikan.  Sehingga diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Makalah ini disusun dengan judul “PELESTARIAN BAHASA ARAB”. Pemakalah menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna. Kritik dan saran yang membangun, pemakalah terima dengan senang hati, demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini.
Harapan yang tulus ikhlas berupa persembahan do’a kepada Allah swt. Kiranya makalah ini dapat membawa manfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.



Ciputat, Maret 2012

penyusun 

PENDAHULUAN

Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan sekelompok masyarakat untuk menyampaikan maksud dan tujuan  tertentu. Agar tercapai maksud dan tujuan yang diinginkan, maka bahasa tersebut harus sesuai dengan gramatika dan kosakata yang dapat dipahami oleh pendengar. Karena setiap bahasa mempunyai kosakata yang berbeda-beda. Meskipun ada beberapa kata yang termasuk kosakata serapan antara bahasa yang serumpun.
Seperti yang telah kita ketahui, bahasa Arab merupakan salah satu bahasa yang ada di dunia dan menjadi bahasa resmi di wilayah jazirah Arab
Pada masa awal Islam (masa Nabi, Khalafa’ rasyiddin dan awal Bani Umayah) bahasa Arab sebagai ilmu belum muncul. Namun, bahasa Arab sebagai media ekspresi bangasa Arab atau bahasa Arab sebagai praktik komunikasi dengan strukturnya yang ada seperti sekarang sudah mentradisi. Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah bangsa Arab pada waktu baerbahasa Arab berdasarkan ilmu (nahwu, sharaf, dan balaghah) ataukah berdasarkan logika natural (al-manthiq al-thabi’i)? 


BAB I
PERKEMBANGAN KHAT ARAB

A. Pengertian Khat dan Awal Pertumbuhannya
Secara bahasa khat adalah tulisan tangan (khususnya tulisan indah). Sedangkan kaligrafi adalah semi melukis indah dengan pena[1]. Terdapat beberapa pendapat dalam mengatakan asal-usul khat. Antaranya ialah, pendapat pertama menyatakan khat adalah anugerah daripada Allah S.W.T. kepada manusia. Allah telah mengajar ilmu dan cara menulis kepada Adam a.s dan diwarisi turun temurun sehingga kini. Ibnu Khaldun juga menyatakan bahawa tulisan jenis masnad berasal daripada Yaman, kemudiannya berpindah kepada keluarga al-Munzir di Heart. Tulisan ini lahir pada zaman kerajaan Saba’ di Himyar. Terdapat juga pendapat yang menyatakan tulisan ini berasal dari Heart dan akhirnya ke Hijaz. Selain itu juga, ada yang menyatakan khat berasal daripada finiqi yang diambil daripada huruf Mesir purba. Akan tetapi, kebanyakan ahli sejarah bersetuju dengan pendapat yang terakhir iaitu kkhat berasal berasal daripada tulisan Nabati (Ramali). Ia sampai ke Hijaz melalui dua jalan iaitu jalan dekat dari Nabati ke Batra ke Ula, ke Madinah dan Makkah serta jalan jauh iaitu melalui Harran ke lembah Furat, ke Daumatul Jandal, ke Madinah, Makkah dan Taif.
Tulisan khat dibawa melalui pedagang yang berniaga di Syam dan Iran, terutama Quraisy. Ini bererti ketika Islam disebarkan, segelintir kecil orang Arab telah pandai membaca dan menulis walaupun jumlah bilangan mereka adalah sredikit sekali. Buktinya tawanan Perang Badar (musyrikin Makkah) dikehendaki mengajar anak umat Islam membaca dan menulis seramai 10 orang sebelum dibebaskan. Tulisan Arab ini akhirnya diperkenalkan ke seluruh dunia Islam. Mana-mana negara yang masih tidak mempu sistem tulisan sendiri pada masa itu mengambil seratus-peratus tulisan Arab menjadi tulisan mereka. Proses ini berlaku begitu cepat seiring dengan perkembangan pembelajaran Al-Quran[2]
Khat Arab berasal dari kaligrafi Mesir (Kan'an, Semith, atau Tursina). Lalu terpecah menjadi khat Feniqi (Funisia), yang pecah pula menjadi Arami dan Musnad dengan cabang-cabang (Arami): Nabati di Hirah/Huroh dan Satranjili-Suryani di Irak; dan (Musnad): Safawi, Samudi, Lihyani (Utara Jazira Arabia), dan Humeiri, selatannya.
Hal tersebut didasarkan atas bukti-bukti nyata arkeologi (dinas purbakala) yang pernah mengadakan penelitian intensif tentang pertumbuhan tulisan Arab yang berasosiasi erat pada ilmu perbandingan bahasa. Perkembangan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut[3]:
1.   Khat Mesir Kuno adalah sumber kelahiran khat feniqi.
2.   Khat feniqi terpecah menjadi 2 (dua): Arami dan Musnad.
3.   Khat Arami melahirkan khat-khat: Nabati di Hirah dan Satranjili Suryani di Irak.
4.   Khat Musnad melhirkan khat-khat: Safawi, Samudi, dan Lihyani di Arabia Utara, dan Humeiri di Selatannya.
5.   Khat Nabati dipandang sebagai biang melahirkan khat Kufi yang sebelum Islam bernama Hieri (diambil dari kata Hirah, kota kelahirannya) dan sering juga disebut Jazm.

B. Huruf Hijaiyah
Alfabet Arab disebut huruf al hija (iyah) dan huruf al tahajji. Diindonesiakan menjadi "huruf ejaan". Ahli gramatika Arab, Sibawaih dan Al Khalil menamakannya huruf al 'Arabiyah atau huruf al lughah al 'Arabiyah, maksudnya: huruf bahasa Arab, yang dengannyalah tersusun bahasa Arab. Sering juga disebut huruf al mu'jam (huruf yang bertanda-baca) atau bertitik, entah dalam bentuk terpisah-pisah yang belum dapat difahami sehingga menjadi sebuah rangkaian kata, ataupun karena beberapa bagian daripadanya atau seluruhnya dibubuhi tanda baca[4].
Abjad, Alfabet, atau huruf Hijaiyah berjumlah 28 (dua puluh delapan) huruf – tunggal, atau berjumlah 30 (tiga puluh) dengan memasukkan huruf rangkap Lam-Alif dan Hamzah (sebagai huruf yang menerima sandang/harakat). Cara menulis huruf Arab mendatar dan dimulai dari arah kanan ke kiri[5].

C. Sejarah Tanda Baca, Menciptakan Syakal dan Harakat
Selain itu para peneliti berbeda pendapat tentang tempat asal usul dan metode sampainya khat Arabi kepada orang Arab, sehingga pada akhirnya orang Arab melakukan perubahan pada khat mereka, diantaranya[6] :

1.      Syakal atau tanda I’rab
Hal yang pertama kali dilakukan orang arab dalam perubahan khat Arabi adalah dengan meletakan tanda syakal yang bentuk dan warnanya berbeda dengan hurufnya karena pengertian dari tanda I’rab adalah berubahnya akhir-akhir kalimat karena perbedaan amil-amil yang masuk atasnya baik secara lafadz atau taqdir.[7] Pemberian syakal atau tanda I’rab ini bertujuan untuk membantu terhadap bacaan dan pemahaman.[8]
Namun pada perkembangannya abad VII M/I H, awal daulah Umayyah ada seorang bernama Ziyad bin Abi Sufyan, meminta kepada seorang ahli bahasa Arab Abul Aswad Al-Dualy (W. 69 H) untuk menciptakan tan tanda-tanda baca (syakal dan harakat) untuk mempermudah membaca Al-qur’an. Tanda baca (syakal) pada waktu itu yang diciptakan berupa “titik-titik”.
a.              Titik satu disebelah kiri huruf, berarti dhammah (u).
b.             Titik satu tepat di atas huruf, berarti fathah (a).
c.              Titik satu tepat di bawah huruf, berarti kasrah (i).
d.             Bila titik digandakan (dua titik) maka fungsinya menjadi tanwin (an,in,un).
Titik-titik yang menandai bacaan ditulis dengan tinta yang berbeda yang dipergunakan menulis huruf dalam mushaf. Kalau tinta yang dipergunakan menulis huruf tinta hitam, maka titik-titik tanda bacanya dibuat dengan tinta warna merah. Dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa semua huruf dalam Al-qur’an diberi tanda baca. Tetapi pendapat lain mengatakan bahwa yang diberi tanda hanyalah huruf akhir kata atau huruf-huruf tertentu yang menimbulkan salah baca bila tidak diberi tanda.[9]
Tanda baca dalam tulisan Arab terdiri dari titik yang disebut naqt atau i'jam; dan barus yang disebut harakat atau syakal.
Abul Aswad berhasil mewariskan sistem penempatan "titik-titik" tinta berwarna merah yang berfungsi sebagai syakal-syakal yang menunjukan pada unsur-unsur kata Arab yang tidak terwakili oleh huruf-huruf. Penempatan titik-titik tersebut adalah sebagai berikut[10]:
a.  Tanda Fathah dengan satu titik di atas huruf (a).
b.  Tanda kasrah dengan satu titik di bawah huruf (i).
c.  Tanda dhammah dengan satu titik di sebelah kiri huruf (u).
d.  Tanda tanwin dengan dua (double) titik (an-in-un).
Titik-titik yang menandai bacaan itu ditulis dengan tinta yang berbeda dengan tinta yang dipergunakan menulis huruf dalam Mushaf. Kalau tinta yang dipergunakan menulis huruf tinta hitam, maka titik-titik tanda bacanya dibuat dengan tinta merah. Dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa semua huruf dalam Al Qur'an diberi tanda baca. Tetapi pendapat lain mengatakan bahwa yang diberi tanda hanyalah huruf akhir kata atau huruf-huruf tertentu yang dapat menimbulkan salah baca bila tidak diberi tanda[11].
Al Khalil memebuat dasar tanda-tanda dalam tulisan Arab yang menjadi dasar tulisan Arab sampai sekarang. Untuk lebih jelas dan lengkapnya penyempurnaan tanda-tanda dalam tulisan Arab dapat diuraikan sebagai berikut[12]:
·         Huruf Alif kecil dan ditulis miring  di atas huruf sebagai tanda "Fathah" yang berbunyi "a". Sekarang menjadi garis miring pendek di atas huruf.
·         Huruf Ya kecil diletakkan di bawah huruf sebagai tanda "kasrah" yang berbunyi "i". Seakrang menjadi garis miring pendek (seperti fathah) di bawah huruf.
·         Huruf Wawu kecil diletakkan di atas huruf sebagai tanda "dhammah" yang berbunyi "u". Sekarang hanya diambil kepala wawunya saja yang bulat kemudian bagian selanjutnya berupa garis-garis pendek.
·         Kepala huruf Kha dan ditulis di atas huruf sebagai tanda mati atau pepet (sukun, berhenti). Huruf Kha berasal dari kata "Khaffafa" yang berarti ringan (Takhfif). Sekarang kepala Kha itu dibuat elastis sehingga tidak semata-mata berupa kepala huruf Kha serta tanpa titik di atasnya.
·         Kepala huruf Syin (yang diambilkan Syin dari kata "tasydied") digunakan sebagai tanda untuk huruf rangkap atau tanda "Tasydied".
·         Kepala huruf 'Ain (yang diambilkan huruf terakhir dari kata "qatha", "A" ditulis dan dikecilkan, diletakkan di atas atau di bawah Alif sebagai tanda Hamzah. Sehingga Alif yang mendapat tanda ini (di depan kata) disebut "Hamzah Qatha".
·         Penggunaan huruf hidup. Alif, Wawu, dan Ya berfungsi sebagai Huruf Mad (dibaca panjang) atau huruf hidup (vowel). Ketiga huruf tersebut berfungsi sebagai huruf hidup dengan ketentuan:
-     Alif berharakat Sukun (mati, pepet) dan jatuh setelah huruf yang berharakat fathah.
-     Wawu berharakat Sukun (mati, pepet) dan jatuh setelah huruf yang berharakat dhammah.
-     Ya berharakat Sukun (mati, pepet) dan jatuh setelah huruf yang berharakat Kasrah.
·         Ketiga huruf tersebut juga dapat berfungsi sebagai huruf mati sehingga dapat diberi harakat atau sandang. Sehingga ketiga huruf tersebut dapat berbunyi a, i, u, atau pepet.
·         Titik digunakan untuk memberi ciri khas pada huruf yang bersamaan bentuk tetapi berbeda ejaannya. Seperti sekarang berlaku hingga kini.

2.      Pemberian tanda baca titik
Fungsi tanda baca titik yaitu untuk membedakan antara huruf-huruf yang sejenis (ب ت Ø« ج Ø­ Ø® ... ( pemberian titik ini terkenal sebelum datangnya islam, karena sebagian huruf memiliki banyak ragam bunyi. Ketika banyak klise (bunyi huruf yang tidak sesuai) di Irak, Al-Hajjaj bin Yusuf  At-Saqafi meminta Abdul Malik bin Marwan dalam kitabnya agar meletakan tanda atau ciri untuk membedakan huruf-huruf yang sejenis. Setelah berifikir dan di pertimbangkan Ia menetapkan untuk meletakan tanda baca titik dengan bentuk yang serupa dengan kata itu sendiri, karena titik huruf merupakan bagian dari hurup itu sendiri.[13]

3.      Harakat
Harakat (Arab: حركات, harakaat) atau tasykil adalah tanda baca atau diakritik yang ditempatkan pada huruf Arab untuk memperjelas gerakan dan pengucapan huruf tersebut.
Harakat dipakai untuk mempermudah cara membaca huruf Arab bagi orang awam, pemula atau pelajar dan biasanya dituliskan pada buku-buku pendidikan, buku anak-anak, kitab suci al-Quran dan Injil berbahasa Arab, walaupun dalam penulisan sehari-hari tidak menggunakan harakat, karena pada umumnya orang Arab sudah paham dan mengerti akan tulisan yang mereka baca, namun kadang juga digunakan sebagai penekanan dari suatu kata terutama pada kata-kata yang kurang umum digunakan agar menghindari kesalahaan pembacaan.[14] Penggunaan harokat ini mulai Nampak diikuti oleh orang-orang pada masa bani Umayah, reformasi pertama (penetapan titik/I’rob).
4.      Tanda Waqaf
Waqaf dari sudut bahasa ialah berhenti atau menahan, manakala dari sudut istilah tajwid ialah menghentikan bacaan sejenak dengan memutuskan suara di akhir perkataan untuk bernapas dengan niat ingin menyambungkan kembali bacaan. Awal masuknya istilah tanda waqaf ini dalam tulisan Arab, tidak diketahui secara pasti namun lebih jelasnya istilah waqaf ini memang sudah ada sejak masa jayanya bangsa Arab.

BAB II
PENYUSUNAN KAIDAH

  1. Pengertian Kaidah dan Tujuannya
Qawa’id merupakan bentuk jama’ dari qa’idah yang secara lughawi berarti: fondasi, dasr, pangkalan, basis, model, pola dasar, formula, aturan, dan prinsip. Sedangkan secara istilahi qawa’id adalah sejumlah aturan dasar dan pola bahasa yang mengatur penggunaan suatu bahsa, baik lisan maupun tulisan. Dalam bahasa Arab, qawa’id meliputi nahwu (sintaksis) dan sharaf (morfologi).
Nahwu secara lughawi berarti: contoh, merupakan kaidah mengenai penyususnan kaliamat dan penjelasan bunyi akhir (I’rob, infleksi) mengenai kata yang berada dalam struktur kalimat serta hubungan satu kalimat denagn kalimat lainnya.[15]  Sedangkan Sharaf secara lughawi: Perubahan. Dan menurut Istilah: mengubah asal bentuk kalimat yang satu kepada model-model bentuk yang berbeda-beda, untuk menghasilkan makna-makna yang diharapkan/yang dimaksud/ yang dituju, yang tidak akan berhasil melainkan dengan cara itu (model-model bentuk tsb).[16]
Seperti halnya bahasa-bahasa yang lain, Bahasa Arab mempunyai kaidah-kaidah tersendiri di dalam mengungkapkan atau menuliskan sesuatu hal, baik berupa komunikasi atau informasi.[17]
Adapun tujuan dasar ilmu nahwu pada mulanya itu mendefinisikan struktur yang memudahkan kepada perubahan I’rob agar belajar dan mengajar bahsa Arab jadi mudah, serta terjaga dari kekeliruan. Hingga pada perkembangannya tujuan utama penyusunan ialah agar bahasa Arab yang fasih tetap terjaga sehingga Al-Qur’an dan hadits Nabi juga terjaga dari kesalahan. Dan pemeluk agama islam yang berasal dari kalangan bukan arab seperti kita-kita, dapat mempelajari Al-Qur'an dan Hadist secara benar untuk dijadikan sumber hukum islam. Di sisi lain, ilmu nahwu juga bisa dipakai sebagai sarana untuk mengungkap keajaiban bahasa Al-Qur’an (اعجاز القرآن)
B. Sejarah Penyusunan Kaidah Bahasa Arab
Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul, terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, para anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya. Namun ketika Islam datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab dengan orang non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab menjadi hilang. Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu[18].

 
BAB III
PENYUSUNAN KAMUS

A. Pengertian dan Tujuan Penyusunan Kamus
Kamus secara bahasa berarti buku acuan yang memuat kata dan ungkapan, biasanya disusun menurut abjad berikut ketertangan tentang makna, pemakaian, atau terjemahnya[19]. Dengan demikian, eksistensi kamus berfungsi sebagai penjelas, penafsir dan pemberi makna terhadap kata, istilah, ungkapan atau frasa yang masih asing atau belum jelas[20].
Sesuai dengan arti mu'jam itu sendiri, dapatlah dipahami bahwa tujuan awal penyusunan kamus adalah untuk memberi penjelasan dan pemaknaan mengenai suatu kata atau istilah yang masih belum jelas. Sesuai dengan arti kamus juga, dapat dipahami bahwa kamus disusun tidak lain adalah agar para pembacanya dapat menyelami lebih dalam "lautan makna" suatu kata, termasuk sinonim, antonim, dan isytiqaq (derivasi)-nya. Dengan menyelami "lautan makna" yang ada dalam sebuah kamus, niscaya pembaca atau penggunanya akan memperoleh penjelasan, pengetahuan kebahasaan dan pemahaman yang lebih baik dan mendalam.
Dengan membuka kamus, misalnya saja Mu'jam al Lughah al Arabiyah al Mu'tashirah karya Hans Wehr, pembaca dapat mengetahui cara membaca setiap kosakata yang ada, berikut ragam makna dan penggunaannya dalam bidang keilmuan tertentu[21].

B. Lintas Sejarah dan Perkembangan Kamus Bahasa Arab
Sebuah bahasa, termasuk bahasa Arab, pada awalnya bermula dari bahsa lisan (lughah al Nutq) yang digunakan para pemakai bahasa untuk berkomunikasi dengan sesamanya, sebelum pada tahap selanjutnya, bahasa itu dikodifikasi atau dibutuhkan dalam bentuk bahasa tulis (lughah kitabah)[22].
Selain alat komunikasi, bahasa juga berfungsi sebagai alat berfikir atau media nalar bagi pemakai bahasa itu sendiri. Perkembangan sebuah bahasa mengikuti perkembangan pemikiran para pengguna bahasa. Sedang manusia, ia tidak akan mampu menghapal dan mengembangkan seluruh kata dari bahasanya sekalipun ia memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Oleh sebab itu, terkadang seseorang tidak mampu mengingat sebuah kata atau kesulitan untuk menyebutkan kosakata yang sesuai dengan yang ia inginkan.
Problem itu menunjukkan urgensi kamus sebagai bahan rujukan untuk mengembangkan makna, menghimpun kata, melestarikan bahasa dan mewariskan peradaban yang bisa dikembangkan. Hal ini yang mendasari manusia melirik pentingnya bahasa tulis untuk mengkodifikasi bahasa mereka[23].
Kodifikasi dan sistematisasi kamus Arab menglami tiga periode penting, diantaranya[24]:
  1. Periode pembukuan (pencatatan) kata-kata tanpa sistematika tertentu dan pada umumnya tanpa ada penjelasan kata. Pada periode ini, tepatnya pada akhir abad pertama hijriyah, dijumpai beberapa buku mengenai risalah al Qur'an, seperti Gharib al Qur'an karya Sa'id al Bakri (W. 141 H) dan Kitab al Nawadir karya beberapa orang seperti Abu Amr ibn al 'Ala' (W. 157 H), Yunus ibn Habib (W. 182), dan al Kasa'i (W. 198).
  2. Periode penyusunan kosakata secara sistematis dalam buku kecil (saku), mengenai tema tertentu dan disistematisasikan berdasarkan huruf tertentu pula. Di antara risalah (traktat) yang disusun pada periode ini adalah Kitab al Mathar wa Kitab al Laba' wa al Laban karya Abu Zaid al Anshari dan Kitab al Khail, Kitab al Syita, Kitab Khalq al Insan wa Kitab al Nakhl wa al karam, wa Kitab al Nabat wa al Syajar karya al Ashmu'i (122-216 H). Periode ini berlangsung pada awal dan pertengah abad kedua hijriyah. Periode ini juga ditandai munculnya berbagai karya al Ashmu'i, Ibn Sikkit (809-858 M), maupun Abu al Thayyib (W. 351). Kecenderungan lain dalam penyusunan kamus pada periode ini adalah adanya pembedaan, misalnya, antara fi'il dan isim, antara kata yang dibaca panjang dan pendek. Kamus mengenai hal ini, antara lain Kitab al Maqshur wa al Mahduud karya Abu Zakariya al Farra (144-207 H).
  3. Kodifikasi kamus atau ensiklopedi secara komprehensif. Dalam hal ini, kamus komprehensif pertama di dunia Islam adalah karya al Khalil tersebut. Mulai periode ini, banyak ulama yang kemudian mengikuti sistem penyusunan kamus ala al Khalil, seperti al Bari karya Abu Ali al Qali (288-356 H), meskipun ia sedikit melakukan perubahan pada urutan huruf dalam kamusnya.

C. Klasifikasi Kamus Bahasa Arab
Seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, kamus di dunia Arab mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya kamus yang sudah diproduksi, mulai dari periode al Khalil hingga sekarang ini.
Secara garis besar, ada dua model sistematika penyusunan kamus-kamus bahasa Arab yang digunakan leksikolog, yaitu: 1) System makna (kamus makna) dan 2) system lafal (kamus alfadz)
a.       Kamus makna (kamus ma’ani)
System makna (kamus ma’ani) adalah model penyususnan kosakata (item) di dalam kamus yang digunakan seorang leksikolog dengan cara menata kata/atau entri kamus secara berurutan secara berurutan berdasarkan makana atau kelompok kosakata yang makananya sebidang (tematik). Dengan kata lain, pengelompokan entri pada kamus-kamus ma’ani lebih mengedepankan aspek makna yang terkait dengan topic/tema yang telah ditetapkan oleh leksikolog. Misalnya kata kurikulum, materi ajar, buku, siswa, kuliah, semua entri tersebut kedalam tema/topic tarbiyah (pendidikan)kata monitor, mouse, laptop, keyboard, dimasukan ke tema computer (teknologi), dan sebagainya. Dengan sistematika ini, maka kamus ma’ani lebih tepat disebut dengan kamus tematik.
Munculnya kamus-kamus ini dilatarbelakangi teknik pencarian makna kosakata dengan metode sima’i, yaitu para leksikolog langsung turun ke lapangan atau kepedalaman Arab Badui untuk mendengar dialog dan bahasa mereka. Setelah itu mereka mencatat apapun temuan mereka tanpa ,engenal sistematika pembukuan yang terorganisir. Para leksilolog hanya mengkalisifikasikan kosakata berdasarkan teori al-huqul al-dalaliah (semantic fielid). Teori bidang makna ini beupaya mengklasifikasikan kumpulan makna atau kosakata yang masih include didalam bidang/tema yang berdekatan maknanya.
Salah satu contoh kamus ma’ani adalah kamus Al-Gharib Al-Mushannaf, karya Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam (150-244 H). kamus ini dinilai sebagai kamus pertama yang menggunakan system ma’ani dimana semua kosakata (entri) telah di klasifikasikan ke dalam bidang makna tertentu. Dalam menyusun kamus ini, Abu Ubaid memerlukan waktu selama 40 tahun. Setiap bidang makna (tema) dinamkan ‘kitab’ sebagai subjudul  kamus.

b.      System Lafal (kamus alfadz)
System Lafal (Kamus Alfadz) adalah kamus yang kata-kata (item) di dalamnya tersusun secara berurutan berdasarkan urutan lafal (indeks) dari kosakata yang berhimpun, bukan melihat pada makna kata.
Dalam sejarah perkembangan leksikon bahasa Arab, paling tidak terdapat lima model sistematika (nidzam tartib) yang pernah digunakan para leksikolog Arab dalam menyusunkamus-kamus lafal, yaitu: Nidzam Al-Shauty (system fonetik) Nidzam Al-Alfaba’i Al-Khas (Sistem Alfabetis Khusus), Nidzam Al-Qafiyah (system sajak), Nidzam Al-Alfaba’i Al-‘Aam (system alfabetis umum), dan Nidzam Al-Nutqi (system artikulasi).[25]


[19] Depdiknas. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, edisi ketiga, cet. Ke-3, hal. 499

[20] Muhbib Abdul Wahab. Op Cit. 271
[21] Ibid, hal. 272
[22] H. R. Taufiqurrachman, MA. 2008. Leksikologi Bahsa Arab. Malang: UIN Malang Press, hal. 183 
[23]  Taufiqurrahman, Leksikologi Bhasa Arab (UIN Malang Press:2008)
[24] Muhbib Abdul Wahab. Op. Cit, hal. 274
[25] Muhbib Abdul Wahab. Op. Cit, h. 213-218 



[15] Muhbib Abdul Wahab, Epistimologi&Metologi Pembelajaran Bahasa Arab.(UIN Jakarta:2008)h. 171
[17] https://kiflipaputungan.wordpress.com/2010/03/31/sejarah-perkembangan-ilmu-nahwu-i/

[18] Abdul Karim Husain. Op. Cit, hal.

 


[1] Depdiknas. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, edisi ketiga, cet. Ke-3, hal. 494
[2] http://newpaces.com/forum/topic/468
[3] D. Sirojuddin. AR. 1987. Seni Kaligrafi Islam. Jakarta : Pustaka Panjimas. Cet. Ke-2, hal. 20
[4] Ibid,  hal. 21
[5] Abdul Karim Husain. (Tanpa Tahun). Seni Kaligrafi Khat Naskhi: Tuntutan Menulis Halus Dengan Metode Komparatif. Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, cet. Ke-4, hal. 5
[6] D. Hidayat dan Zainal Muttaqin, Fiqih Lughah II (UIN Jakarta: 2004) h. 47
[7] http://arabbahasa.blogspot.com/2011/04/bab-irab.html
[8] D. Hidayat dan Zainal Muttaqin, Op Cit, h.47
[9] Husain, Abdul Karim., (1985), Seni Kaligrafi Khat Naskhi, Pedoman Ilmu Karya, Jakarta. h. 13.
[10] D. Sirojuddin. AR. Op. Cit,  hal. 65
[11] Abdul Karim Husain. Op. Cit, hal. 14
[12] Abdul Karim Husain. Op. Cit, hal. 16
[13] D. Hidayat dan Zainal Muttaqin, Op Cit, h. 48




Tidak ada komentar:

Posting Komentar